Mohon tunggu...
Irfan Suparman
Irfan Suparman Mohon Tunggu... Penulis - Fresh Graduate of International Law

Seorang lulusan Hukum yang hobi membaca dan menulis. Topik yang biasa ditulis biasanya tentang Hukum, Politik, Ekonomi, Sains, Filsafat, Seni dan Sastra.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Depresi Makna Hijrah sebagai Fenomena Sub-Kultur

2 November 2019   09:12 Diperbarui: 2 November 2019   09:17 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Manusia yang tinggal di daerah perkotaan sering mengalami depresi. Depresi disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya adalah kemacetan yang kian hari kian bertambah. Mengulas kemacetan sama artinya membongkar segala bentuk modernisasi. Kemacetan terjadi karena manusia menggunakan kendaraan roda dua atau empat secara pribadi, belum lagi kalau ada perbaikan ruas jalan. Begitulah masalah yang dihadapi masyarakat perkotaan.

Depresi yang dialami masyarakat perkotaan bukan hanya saja disebabkan oleh kemacetan, ada juga gaya hidup yang tinggi dan tidak sesuai dengan penghasilan. Disampingnya mengalami kemacetan msyarakat perkotaan pun harus memikirkan kebutuhan hidup yang tinggi oleh karena itu masyarakat perkotaan bekerja di perusahaan atau pabrik. Bentuk tubuh dan paradigma masyarakat perkotaan dipengaruhi oleh gaya hidup ke eropa-eropa-an. Gaya hidup masyarakat perkotaan dipengaruhi oleh globalisasi dan modernisasi. Di abad ke-21 ini, masyarakat kota mulai berbaur dengan agama sebagai tameng utama. Ini dibuktikan oleh maraknya masyarakat perkotaan yang memilih untuk menyatakan bahwa dirinya telah hijrah. Apa yang dimaksud hijrah disini telah keliru. Dan harus diluruskan dengan hakikat hijrah pada masyarakat perkotaan.

Dalam sejarah hijrah, Muhammad sebagai nabi dalam agama Islam melakukan perjalanan dari Mekkah ke Madinah untuk menyebarkan agama Islam. Fenomena seperti itu bisa dilakukan oleh manusia seperti urbanisasi untuk penghidupan lebih baik di kota tujuan. Namun bukan itu yang keliru, tapi yang keliru dalam memaknai kata hijrah dalam masyarakat perkotaan adalah dengan membentuk pola perilaku masyarakat yang memakai pakaian ahlul Sunnah waljamaah.

Jika dipandang dari pandangan antropologi, fenomena hijrah hampir serupa dengan fenomena anak punk. Yaitu hijrah merupakan bagian sub kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat perkotaan. Karena yang disebut kota dalam kajian Yunani kuno merupakan daerah yang sudah beradab, sementara peradaban didominasi oleh kebudayaan Eropa. Oleh karena itu kota dan masyarakatnya cenderung mendalami mahzab libertarian. Jadi yang disebut hijrah pada masa sekarang bukanlah hijrah yang esensial melainkan eksistensial. Mereka bisa menggunakan busana ala arabian sebagai mode kultural mereka sambil berkegiatan seperti masyarakat liberal pada umumnya bermain skateboard dan lain sebagainnya.

Sub kultur sangat erat dengan ideologi, para hijrah banyak melakukan gerakan unik seperti Indonesia Tanpa Pacaran, Pemuda Hijrah, dan lain-lain.
Kota, polusi dan kemacetan mengakibatkan masyarakatnya mengalami depresi. Lalu pola hidup yang repetisi membuat masyarakat kota terbuka atas sesuatu kultur yang unik untuk merepresifitaskan tingkat kedepresian. Disinilah kita melihat peran bahasa sebagai alat komunikasi harus dikonstruksi supaya membentuk paradigma mengenai hijrah ini sebagai mana yang esensial.

Permasalahan selanjutnya adalah karena masyarakat perkotaan ini bersifat leberalistik jadi bahasa yang dipergunakan cenderung kebarat-baratan. Dengan munculnya fenomena hijrah ini malah membuat masyarakat perkotaan menguasai bahasa Timur-Tengah, mereka menggunakan kata "Ana" dan "Antum" sebagai kata "I" dan "you".  Mungkin karena bersifat terbuka, masyarakat perkotaan tidak mementingkan analisis ini karena sudah penat dengan bau asap bis kota yang hitam jahanam masuk ke paru-paru.

Namun, pada akhirnya mereka menjadi bagian dari kehidupan bersosial. Mereka terus aktif menggelar kegiatan-kegiatan yang positif seperti One Day One Juz, Ayo Ngaji!, dan gerakan hijrah lainnya tanpa meninggalkan kehidupan modernnya. Busana menjadi identitas mereka namun masih ada stereotipe dari masyarakat mengenai mereka. Tendensi ini seringkali membuat mereka termarjinalisasi padahal mereka hanyalah bagian dari kelompok masyarakat yang wajib mendapatkan hak bersosialisasi di tengah ruang publik bukan malah mencap mereka sebagai pelaku atau penganut paham radikalisme.Pemerintah seringkli membuat propaganda Anti-Radikalisme tapi pemerintah tidak pernah mensosialisasikan apa yang dimaksud radikalisme. Malah pemerintah cenderung lebih mengklasifikasikan orang yang terpapar radikalisme dari mode busana dan gaya hidup.

Noam Chomsky memberikan teori mengenai seberapa berkuasanya pemerintah sampai bisa menguasai paradigma publik lewat media. Dalam bukunya, Politik Kuasa Media ia menjelaskan bahwa negara dalam kekuasaan pemerintahan bisa mempengaruhi parradigma masyarakat melalui media seperti yang dilakukan pemerintah Amerika Serikat pada tahun-tahun setelah perang dunia ke-1 mampu mengubah pola pikir masyarakat yang anti perang menjadi haus perang. Dalam hal ini, orang-orang hijrah di Indonesia telah mendapatkan pandangan yang tendensius.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun