Mohon tunggu...
IrfanPras
IrfanPras Mohon Tunggu... Freelancer - Narablog

Dilarang memuat ulang artikel untuk komersial. Memuat ulang artikel untuk kebutuhan Fair Use diperbolehkan.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Memahami Kerja Jurnalis Lewat Film "Spotlight"

12 Februari 2020   10:30 Diperbarui: 12 Februari 2020   10:30 1241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster film Spotlight (2015). sumber foto: catholicleague.com)

Akhirnya, berita dengan judul "Church allowed abuse by priest for years" terbit pada tanggal 6 Januari 2002 di harian Boston Sunday Globe. Pemberitaan itupun menyita perhatian banyak pihak dan keesokan paginya tim Spotlight menerima banyak telpon dari para korban pelecehan pastur yang menceritakan kisah mereka.

Dari film Spotlight ini kita bisa mendapat beberapa pembelajaran penting. Salah satunya bagaimana kekuatan pers dalam mengungkap sebuah kasus. Terbukti, tim Spotlight akhirnya mampu mengungkap kasus pelecehan seksual terhadap anak oleh beberapa pastur di kota Boston yang ternyata sudah terjadi bertahun-tahun lamanya. 

Bahkan setelah terbitnya investigasi mereka, didapat jumlah korban pelecehan yang mencapai lebih dari 1000 orang dan 249 pastur dan biarawan yang didakwa oleh Keuskupan Boston atas dugaan kasus pelecehan seksual.

Tak disangka bukan, bahwa investigasi jurnalis yang membutuhkan waktu berbulan-bulan itu berbuah manis, dan setahun kemudian tim Spotlight mendapat anugerah Pulitzer Prize for Public Service, sebuah penghargaan tinggi di Amerika Serikat atas kerja jurnalisme dalam pelayanan publik.  

Dari film Spotlight kita juga bisa melihat betapa beratnya perjuangan tim Spotlight dalam melakukan investigasi. Bukan hanya membutuhkan waktu berbulan-bulan namun mereka juga butuh kesabaran dan ketelitian dalam mencari sumber berita. 

Setelah terbit pun, berita yang mereka buat mendapat tanggapan keras dari Kardinal Law dan komunitas Katolik di Boston karena bagaimanapun mereka dianggap menuntut gerja Katolik walau mereka juga seorang Katolik.

Saya tak paham soal kode etik jurnalistik di Amerika Serikat, namun tim Spotlight memperlihatkan bahwa mereka bekerja sesuai kode etik jurnalistik. Kode etik jurnalistik di Indonesia yang ditetapkan oleh Dewan Pers setidaknya memuat 11 pasal. Dari seluruhnya itu, jurnalis Spotlight mengajarkan kepada penontonnya bahwa jurnalis harus independen, profesional, tidak menerima suap, menghormati hak narasumber, dan tidak membuat berita bohong atau hoax.

Dalam filmnya, diperlihatkan Marty Baron bertemu dengan Kardinal Law pimpinan keuskupan di Boston. Ketika itu Kardinal Law menawarkan bantuan kepada Marty, namun dengan halus ia menjawab bahwa surat kabar akan befungsi secara maksimal jika berkerja secara independen dan tidak menerima suap dalam bentuk apapun. 

Tokoh Robby juga memperlihatkan hal serupa. Dalam perkerjannya menginvestigasi kasus lewat beberapa pengacara yang menangani kasus pelecehan oleh pastur, ia sempat ditawari untuk menghentikan saja investigasinya dan memintanya untuk berdamai. 

Hal itu karena pekerjaan tim Spotlight cukup riskan sebab bisa dianggap menggugat gereja Katolik. Tapi pada akhirnya Robby tetap profesional dan mengulik informasi lebih dalam dari para narasumbernya.

Dalam film Spotlight juga diperlihatkan perjuangan keras dari Michael Rezendes untuk mendapat segala sumber pemberitaan untuk kasus pelecehan seksual itu. Bahkan ia harus memohon kepada pengacara Mitchell untuk mau dimintai keterangan. Namun, ia tetap menjaga martabat dan kesopanannya, tidak mengancam atau memaksa Mitchell secara berlebihan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun