Warteg. Apa yang terlintas di dalam benak orang banyak ketika mendengar kata warteg? Warung tegal, sudah jelas. Harga murah, harus. Tempat berkumpulnya warga Republik Ngapak, bisa juga. Langganan mahasiswa, tidak diragukan lagi.
Warteg sudah memiliki tempat tersendiri dalam hati setiap orang di Indonesia, khususnya daerah Jawa di mana penyebarannya begitu pesat. Ada banyak sekali warteg yang tersebar di berbagai tempat, hingga sulit kadang untuk memastikannya. Menurut sebuah sensus saja, ada sekiranya lebih dari 34.000 warteg yang bertebaran di daerah Jabodetabek. Dan itu baru Jabodetabek.
Dengan jumlah yang begitu banyak, tak bisa diragukan lagi kalau warteg memang sudah sangat populer. Akan tetapi, dalam kepopuleran tersebut pun, ada beberapa keunikan-keunikan warteg yang mungkin belum banyak diketahui oleh khalayak umum. Dan dalam artikel ini, akan dibahas keunikan-keunikan tersebut.
Asal-usul Warteg
Awal mula kemunculan warteg sudah cukup lama. Bermula pada masa pembangunan sekitar tahun 60-an. Pada masa-masa selepas kemerdekaan itu, pembangunan begitu digencarkan oleh Presiden Soekarno, terutama di Ibu Kota Jakarta.
Pada masa itu, ada seorang tokoh bernama Mbah Bergas yang mempelopori perantauan orang-orang Tegal untuk mengadu nasib di ibu kota. Namun pada awalnya, kebanyakan dari mereka menjadi kuli atau tukang pada proyek-proyek pembangunan. Tentu, pekerjaan itu berlaku untuk para pria.
Di sisi lain, istri-istri kuli tersebut mencoba berusaha sendiri dengan menjual nasi ponggol di sekitaran area proyek pembangunan. Nasi ponggol sendiri adalah makanan tradisional khas Tegal. Isinya terdiri dari nasi, tahu, tempe, dan sambal yang dibungkus dengan daun pisang. Dikatakan, nasi ponggol merupakan menu turun temurun masyarakat Tegal dan sudah ada semenjak setengah abad yang lalu.
Dengan harga nasi ponggol yang murah, dan isinya yang cukup mengenyangkan, tak ayal kemunculannya menjadi favorit para kuli yang tiap-tiap hari memeras keringat di proyek. Mulai dari situlah, kemunculan warteg.
Pada mulanya, bangunan warteg hanya berupa semacam bedeng, dengan menu seadanya saja. Tapi setelah memasuki tahun 1990-an, warteg telah berkembang dengan bangunan semi permanen dan menu yang lebih beragam seperti sayur, daging, dan ikan. Tentu, dengan harga yang terjangkau juga. Bahkan sekarang, telah ada pengusaha-pengusaha yang sukses membuka warteg di luar negeri sana.
Warna Khasnya
Jika kita mengamati dengan seksama, terutama bagi para mahasiswa yang kehidupannya kerap kali berkutat dengan warteg, kebanyakan warung serba murah itu memakai warna biru atau hijau muda sebagai warna dasar bangunannya. Hal ini merupakan salah satu keunikan yang kadang terlewat dari mata masyarakat meski di dalam kepopuleran warteg itu sendiri. Mengapa harus biru atau hijau muda? Ternyata ada sebuah alasan dibalik pemilihan warna ini.