Mohon tunggu...
Irfan L. Sarhindi
Irfan L. Sarhindi Mohon Tunggu... wiraswasta -

Penulis "The Lost Story Of Ka'bah" dan "Kun Fayakun Kun La Takun". Peraih Nugra Jasa Dharma Pustaloka Perpusnas 2011 Kategori Karya Fiksi Terbaik III untuk novel keduanya "Apologia Latte". Selain menulis, aktif pula di Ponpes tempatnya lahir dan menimba ilmu dan bertumbuh: Ponpes Darul Falah, Jambudipa. Ia juga seorang Pembicara, Long Life Learner, Pecinta Buku, dan Penggemar Sepakbola. Karya-karyanya yang lain: Hubby, Apologia Latte, Sirruhart, Meander, Sarajan Copas. Berdomisili di Cianjur.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Zona Bebas Bunuh Diri

21 Februari 2014   20:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:36 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Gara-gara berita artis Korea bunuh diri, saya jadi riset soal kausalitas kisah-dalam-film dengan akhir tragis para artis.

Maklum, film Korea kan, kalau istilah Fahd Djibran, “tahu cara membuat kita menangis bahkan ketika kita tidak mengerti bahasa mereka”. Tadinya, saya berharap mendapat informasi yang bombastis hiperbolis, semisal, “Korea Selatan, Negara dengan Angka Bunuh Diri Tertinggi”. Tetapi yang saya temui nyaris antiklimaks—Korea Selatan “hanya” menempati posisi ke-11 dengan rataan 21 orang per 100.000 jiwa. Atau dalam bahasa iklannya: 21 dari 100.000 orang Korea Selatan, meninggal dengan bunuh diri!

Walaupun begitu—biar riset saya sedikit beraroma drama—posisi ke-11 ini terbilang mengejutkan, karena 20 tahun lalu, Korea Selatan adalah negara dengan angka bunuh diri paling rendah. Kok bisa? Begitulah, pembahasannya akan panjang—dan buku ini menjadi kurang tepat.

Namun begitu, ketika saya memperlebar range pengamatan, info-info baru semakin memerindingkan bulu kuduk. Pertama, menurut Ketua Lembaga Kajian Pencegahan Bunuh Diri (LKBD), Kunang-kunang Al Qadir Cangkringan, bunuh diri adalah satu dari tiga penyebab utama kematian pada kelompok umur 15-44 tahun dan nomor dua untuk kelompok umur 10 hingga 24 tahun. Kedua, berdasarkan perhitungan World Health Organization (WHO) angka kematian di Indonesia mencapai 1,6 s.d 1,8 per 100.000 jiwa. Dan diperkirakan bisa lebih besar mengingat fenomena bunuh diri ibarat gunung es: yang kelihatan, yang terekspos, seringkali hanya puncaknya saja. Ketiga, WHO bahkan memperkirakan tahun 2020 angka bunuh diri ini akan meningkat hingga 2,4 per 100.000 jiwa.

Tapi informasi di atas belumlah seberapa jika dibanding informasi keempat ini: adanya Wisata Bunuh Diri di Zurich, Swiss! Masya Allah! Dalih mereka: bunuh diri adalah bagian dari hak azasi manusia, karena itu mereka yang ingin bunuh diri—tapi kesulitan melakukan itu karena satu dan lain hal—berhak diberi fasilitas guna mempercepat terwujudnya cita-cita itu. Tak tanggung-tanggung, klinik yang beroperasi sejak 1941 itu telah sukses menewaskan tak kurang dari 2000 orang setiap tahun !

Kebayang kalau klinik ini beriklan di televisi: Anda bosan hidup? Hidup berlaku tidak adil kepad Anda? Jangan khawatir! Kini hadir, Klinik Euthanasia Terpercaya! Berdiri lebih lama daripada Nyonya Meneer! Telah membunuh lebih dari 140.000 orang! Pemakaman tersebar di seluruh dunia! Buruan, diskon 10% untuk 1000 pendaftar pertama!

Namun begitu, untunglah—seandainya layak disebut “untunglah”—turis asing telah dilarang numpang mati di sana, seiring banyaknya protes yang dilontarkan masyarakat, walaupun tetap ada pengecualian: yaitu bagi mereka yang sakit menahun tak bisa diobati lagi dan ingin “beristirahat” tak jauh dari arena ski di Swiss.

Apa poinnya?

Sederhana. Hari-hari ini kok rasa-rasanya kita makin kebablasan dalam mengindukan segala sesuatu—tingkah polah, sikap, dan lain-lain—pada apa yang diagungkan sebagai Hak Azasi Manusia. Perempuan mau telanjang, jangan dilarang, HAM! Lelaki mau berzina dengan istri tetangga, silakan asal saling suka, HAM! Koruptor mau nyaleg, silakan, HAM!

Padahal, jika hak dianggap sebagai “kebebasan”—bahkan kebebasan yang paling azasi sekalipun—tentu kebebasan itu tidak bersifat bebas sebebas-bebasnya bebas. Seperti analogi batasan-jalur di jalan raya yang memungkinkan hak kita berkendara lebih terjamin keamanan dan kenyamanannya. Dan sekali kita melanggar batas, kemungkinan tabrakan lebih besar.

“Dan janganlah kalian melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang yang melampaui batas.” (QS al-Maidah: 87)

Mungkin, jika memang HAM memiliki sisi positif—dan saya mengakui itu—pengimplementasiannya tentu tidak boleh melewati Hak Azasi Allah—itupun jika istilah itu “pantas” dan “boleh”. Yaitu hak-Nya sebagai Tuhan, sebagai Perbendaharaan Tersembunyi yang menunggu untuk ditemukan, hak-Nya sebagai Raja Semesta Raya, hak-Nya sebagai Yang Tiada Berawal dan Berakhir.

Yaitu hak untuk disembah dan ditaati, hak untuk mendapati kita mengerjakan peran sebagai khalifah yang Ia pilih, hak untuk melihat kita mengerjakan apa yang Ia perintah menjauhi segala yang Ia larang.

“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali beribadah (mengesakan ibadahnya) kepada-Ku….” (QS adz-Dzariat: 56)

Walaupun kita semua tahu, segala keagungan dan kerajaan-Nya, takkan merugi sedikitpun seandainya semua makhluk bersekongkol untuk berpaling dan melawan-Nya—sebagaimana khayalan hikayat dewa-dewi Yunani. Karena bagaimanapun, sangat mudah bagi-Nya untuk melumatkan kita tanpa sisa—sebagaimana pernah Ia timpakan pada bangsa-bangsa pembangkang—dan mengganti kita dengan makhluk yang sepenuhnyabaru.

Dan kita akan menyesal.

http://giant41.blogspot.com

http:giant41.blogspot.com

http://www.republika.co.id

http://luar-negeri.kompasiana.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun