Mohon tunggu...
Irfan L. Sarhindi
Irfan L. Sarhindi Mohon Tunggu... wiraswasta -

Penulis "The Lost Story Of Ka'bah" dan "Kun Fayakun Kun La Takun". Peraih Nugra Jasa Dharma Pustaloka Perpusnas 2011 Kategori Karya Fiksi Terbaik III untuk novel keduanya "Apologia Latte". Selain menulis, aktif pula di Ponpes tempatnya lahir dan menimba ilmu dan bertumbuh: Ponpes Darul Falah, Jambudipa. Ia juga seorang Pembicara, Long Life Learner, Pecinta Buku, dan Penggemar Sepakbola. Karya-karyanya yang lain: Hubby, Apologia Latte, Sirruhart, Meander, Sarajan Copas. Berdomisili di Cianjur.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ka'bah dan Mereka yang Menumpahkan Darah untuk "Menyucikannya" (Bagian 1)

14 Maret 2014   04:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:57 774
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ka’bah dan Mereka yang Menumpahkan Darah untuk “Mensucikannya”

Pada akhirnya, menjadi menarik mencermati bagaimana mereka, entah mewakili pribadi ataupun suku, yang berperang demi kekuasaan di Tanah Mekkah, akan selalu berusaha mengagungkan dan mensucikan Ka’bah, bahkan ketika mereka sebetulnya hanyalah seorang Penganut Agama Pagan. Atau ketika mereka merebut kekuasaan tersebut lewat cara yang zalim.

Seperti kita tahu, Ka’bah adalah Rumah Suci pertama yang dibangun di bumi (QS 3: 96). Mula-mula dibangun oleh Nabi Adam as, kemudian direnovasi oleh Nabi Syits, kemudian rusak diterjang banjir bandang di masa Nabi Nuh as, dan dipugar kembali oleh Sang Kekasih Allah, Nabi Ibrahim as beserta anaknya yang salih, Nabi Ismail as.

Terletak di lembah Mekkah yang dibentengi bukit-bukit, Ka’bah menjadi Pusat Peribadatan manusia (QS 5 : 97). Marting Lings, dalam bukunya Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik mencatat bahwa sepeninggal Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as, Ka’bah menjadi pusat ziarah Penganut Agama Ibrahimiyah, Yahudi, bahkan Nasrani.

Dampaknya, Mekkah yang dulunya merupakan gurun gersang tak berpenghuni, semakin lama semakin berkembang menjadi sebuah kota dengan arus perputaran uang dan pengaruh yang besar. Mereka yang memegang kekuasaan atas Mekkah, akan dihormati oleh para peziarah selama mereka mampu mengakomodir kebutuhan spiritual mereka.

Sejarah mencatat, kabilah Jurhum-lah yang mula-mula menjadi Penguasa Mekkah selepas Nabi Ismail as wafat. Hal ini karena Nabi Ismail as menikahi putri dari Madhah bin Amr, pemimpin sekaligus pemuka kabilah Jurhum. Setelah itu, kekuasaan atas Mekkah dikendalikan oleh suku Jurhum, sedangkan anak keturunan Nabi Ismail as, walaupun mereka dihormati, mereka sama sekali tidak diberi kekuasaan sedikitpun.

Periode ini berlangsung selama 20 abad.

Di akhir periode kekuasaan Jurhum, terjadi perang Bukhtunsar I dan II. Pasca perang ini, suku Jurhum semakin terpuruk sehingga mereka berbuat sewenang-wenang kepada para Jemaah Haji dan bahkan, merampok kas negara. Di sisi lain, dampak dari perang ini adalah semakin bersinarnya Bani Adnan, salah satu keturunan Nabi Ismail as.

Ketika suku Khuza’ah lewat di Marr Azh Zahran, di sekitar Mekkah dan mengetahui prihal kemarahan Bani Adnan atas prilaku suku Jurhum, mereka pun menyerang suku Jurhum dengan bantuan Bani Bakr. Suku Jurhum yang terusir, membalas dendam dengan menimbun sumur zamzam beserta harta dan alat perang mereka untuk suatu saat bisa kembali dan membalas dendam.

Inilah pertumpahan darah pertama pasca meninggalnya Nabi Ismail as dalam rangka berebut pengaruh atas Mekkah. Tapi walaupun direbut melalui pertumpahan darah, suku Khuza’ah berusaha seamanah mungkin menjaga dan mengagungkan Ka’bah. Mensucikannya. Ribuan jemaah Haji tetap silih berganti berziarah ke sana. Dengan aman dan tenteram.

Muncullah Amr bin Luhai, pemuka suku Khuza’ah yang terkenal salih, yang membawa berhala Hubal ke Ka’bah, bukan dalam maksud merendahkan Rumah Suci tersebut, melainkan karena dia berpikir berhala tersebut dapat mendekatkan mereka kepada Allah. Dia seorang pedagang yang sering mengunjungi Syam, dan suatu ketika melihat orang-orang Syam menyembah berhala dan berpikir, “Ah ini dia, Negeri Syam, Negeri Para Nabi, mereka menyembah berhala untuk menjadi perantara kepada Allah. Aku harus mengikutinya!”

Sejak saat itu, berhala-berhala lain datang ke Mekkah. Sebagian dibawa oleh suku Khuza’ah, sebagian lagi dibawa serta oleh para Jemaah Haji. Kurban-kurban pun disembelih dan darah ditumpahkan di hadapan berhala-berhala tersebut, demi berharap ridha Allah. Kaum Yahudi dan Nasrani yang sadar bahwa penyembahan itu malah mengotori kesucian Ka’bah, memilih berhenti berziarah ke Mekkah dan memusatkan ibadah mereka di Yerusalem.

Pertumpahan darah kedua terjadi di masa leluhur Rasulullah, Qusai bin Kilab. Ketika suku Khuza’ah berhasil mengusir suku Jurhum, mereka memonopoli kekuasaan atas Mekkah oleh suku mereka sendiri dan hanya melibatkan kabilah Mudhar dalam urusan pengelolaan Jemaah Haji. Anggota Bani Adnan yang lain, seperti halnya keturunan Nabi Ismail as di masa suku Jurhum, sama sekali tidak dilibatkan.

Kemudian, ketika Qusai bin Kilab menikahi Hubba, putri dari Pemimpin Suku Khuza’ah, Hulail bin Habasyah, beliaupun menjadi orang yang terpandang di Mekkah. Ketika Hulail bin Habasyah meninggal, kekuasaan atas Mekkah jatuh ke tangan Hubba, yang secara otomatis, jatuh pula ke tangah Qusai bin Kilab.

Qusai pun mengklaim bahwa beliaulah yang lebih berhak memerintah Kota Mekkah. Suku Khuza’ah tidak terima. Bersama Bani Bakr mereka pun berperang melawan suku Quraisy dan Bani Kinanah yang dipimpin langsung oleh Qusai. Uniknya, mereka bersengaja keluar dari Mekkah untuk menumpahkan darah demi jabatan Mensucikan dan Mengagungkan Ka’bah!

Qusai bin Kilab menang, entah itu dalam peperangan maupun ketika masalah ini dibawa kepada Ya’mur bin Auf, seorang bijak. Sejak saat itu, kendali atas Mekkah berada di tangan suku Quraisy.

Ketika Rasulullah SAW diangkat menjadi seorang Rasul, kaum Quraisy melakukan upaya intimidasi atas kaum muslim, setidak-tidaknya karena 3 hal, (1) ketakutan akan turunnya pengaruh mereka, (2) ketakutan akan ‘nama baik’ mereka di mata Jemaah Haji dari seluruh penjuru dunia karena mereka berpikir Rasulullah SAW itu sesat, serta (3) karena mereka berpikir bahwa klaim Rasulullah SAW telah menghina kesucian berhala-berhala yang secara otomatis akan menodai kesucian Ka’bah.

Dalam upaya mempertahankan keyakinan ini—yang bagi Quraisy berarti keyakinan untuk mensucikan Ka’bah dari agama baru ajaran Rasulullah SAW yang menghina agama leluhur; dan bagi umat Muslim berarti keyakinan untuk mengembalikan kesucian Ka’bah yang dikotori berhala-berhala—perang demi perangpun pecah: entah itu Perang Badar, Uhud, Khandaq, dan lain sebagainya.

Mekkah jatuh ke tangan Rasulullah SAW pada peristiwa Fathu Makkah yang nyaris tanpa pertumpahan darah. Barangkali inilah satu-satunya momen penaklukkan Mekkah dengan korban yang minimal. Jika saja kaum Quraisy pada waktu itu patuh pada usulan Abu Sufyan, Fathu Makkah akan bersih dari darah. Tapi sebagian mereka memilih melawan sehingga pasukan Khalid bin Walid pun terpaksa mengeluarkan pedang.

Lebih lengkap di buku "The Lost Story Of Ka'bah"

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun