Pada pertemuan ke 3 (17-9-2025) Mata Kuliah Pendidikan Pancasila dilakukan secara online Zoom dan Dosen menjelaskan tentang prosedural presentasi dan aturan2 lainnya. Disini saya ingin menyelesaikan tugas mingguan berupa kesimpulan dan komentar mengenai artikel yang diberikan oleh Dosen. Berikut Artikelnya :
Judul : Politik yang Terjebak dalam Hiburan: Membaca Demonstrasi Melalui Kacamata Komunikasi Kritis
Beberapa waktu lalu publik dikejutkan dengan amarah massa yang meledak ke ruang privat para politisi. Rumah anggota dewan dari kalangan selebriti, sebut saja Eko Patrio dan Uya Kuya, digeruduk bahkan dijarah. Peristiwa itu menyiratkan pesan keras: rakyat tidak hanya kecewa dengan kebijakan atau sikap politik di Senayan, tetapi juga dengan figur-figur yang dianggap menjadikan parlemen sekadar panggung hiburan.
Fenomena ini memperlihatkan wajah rapuhnya representasi politik di Indonesia. Mereka yang awalnya dikenal sebagai entertainer di layar kaca, kini bertransformasi menjadi legislator. Namun transformasi itu tidak sepenuhnya tuntas; jejak gaya lama masih menempel. Gestur, ucapan, hingga gaya berkomunikasi yang penuh sensasi lebih mudah menonjol ketimbang argumentasi substansial. Gedung DPR, alih-alih menjadi arena deliberasi kebijakan, justru sering dipersepsikan publik sebagai panggung drama.
Dari perspektif komunikasi kritis, kita bisa membaca peristiwa ini sebagai krisis wacana representasi. Ketika komunikasi politik elite lebih condong pada performa citra daripada substansi, publik merasakan adanya jarak yang lebar. Mereka tidak merasa diwakili, bahkan merasa ditertawakan. Demonstrasi di jalanan lalu menemukan pelampiasannya pada simbol-simbol yang melekat pada politisi, termasuk rumah pribadi yang menjadi sasaran amarah.
Media berperan besar dalam membentuk persepsi ini. Media massa kerap menyoroti sisi hiburan para anggota dewan selebriti: bagaimana mereka bercanda di ruang sidang, tampil dengan gaya eksentrik, atau menciptakan sensasi. Liputan seperti ini membuat publik semakin yakin bahwa DPR lebih mirip panggung komedi ketimbang arena politik serius. Sementara itu, media sosial mempercepat penyebaran citra ini. Potongan video singkat, meme, hingga komentar satir viral dalam hitungan jam, memperkuat kesan bahwa parlemen telah berubah menjadi reality show.
Kombinasi antara perilaku selebriti-politisi dan penguatan media menciptakan mediatized politics, di mana politik bukan lagi tentang gagasan, melainkan tontonan. Dalam kerangka komunikasi kritis, kondisi ini memperlihatkan bagaimana wacana dominan dibentuk oleh logika industri media yang lebih mementingkan rating dan klik dibanding substansi politik. Publik akhirnya terjebak dalam konsumsi simbolik: mereka tidak hanya menilai kerja dewan dari undang-undang yang dihasilkan, tetapi juga dari sensasi yang diberitakan.
Tindakan penggerudukan dan penjarahan memang mudah dilabeli anarkis. Namun di balik itu, ada pesan simbolik yang harus dibaca: legitimasi politik sedang terkikis. Ketika rakyat merasa tidak didengar di ruang parlemen, mereka menyuarakan diri dengan cara yang keras, bahkan destruktif. Dalam kacamata komunikasi kritis, ini adalah bentuk counter discourse, upaya membongkar dominasi wacana kekuasaan yang dianggap menindas dan penuh kepalsuan.
Politik yang terjebak dalam hiburan memperlihatkan demokrasi yang direduksi menjadi permainan popularitas. Popularitas dijadikan tiket masuk kekuasaan, tetapi kompetensi terabaikan. Bagi publik yang sehari-hari berjuang dengan harga kebutuhan pokok, lapangan kerja, dan pendidikan anak, tontonan semacam ini terasa ironis, bahkan menyakitkan.
Inilah alasan mengapa makna representasi harus kembali ditegaskan. Demokrasi bukan sekadar seleksi popularitas, tetapi ruang rasionalitas publik. Anggota dewan dituntut untuk menanggalkan identitas panggung hiburan dan tampil sebagai negarawan sejati. Jika tidak, distrust akan semakin meluas, dan demonstrasi akan terus mencari saluran, bahkan ke ruang privat para elite. Rakyat sedang mengingatkan, dengan cara yang paling keras, bahwa panggung politik bukanlah panggung komedi, melainkan panggung serius untuk masa depan bangsa.
Kesimpulan :