Mohon tunggu...
Irene Wardani
Irene Wardani Mohon Tunggu... Lainnya - Be kind!

Life is wonderful

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Artikel Utama

Remaja, Kesehatan Mental, dan Media Sosial Dalam Kehidupan

11 November 2020   08:47 Diperbarui: 19 November 2020   12:45 707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi stres karena media sosial. (sumber: emapoket via kompas.com)

Seperti mata uang koin jika dibalik memiliki dua sisi yang berbeda. Sama halnya dengan zaman modern saat ini. Di satu sisi yang menampilkan nilai uang ibaratkan dunia maya yang melihat kesuksesan, kebahagian, dan popularitas dari segi angka yang didapatkan ketika memposting konten maupun foto di media sosial. Di lain sisi gambar ibaratkan dunia nyata yang menggambarkan identitas diri kita.

Buruknya, dampak negatif dari media sosial dapat menjadi bumerang bagi diri sendiri. Banyak remaja saat ini merasa bahwa “rumah” ada di dunia maya. Mereka merasa tertinggal dan malu jika tidak mengetahui gossip terkini, menonton video atau status teman ,influencer,selebgram, dan Youtuber di media sosial. 

Hal tersebut menimbulkan fenomena FoMO (Fear of Missing Out) di kalangan remaja hal tersebut menimbulkan rasa iri hati yang besar. Akhirnya, memengaruhi kepercayaan diri dan membandingkan kehidupan dengan orang lain. 

Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal EClinicalMedicine menyatakan, anak perempuan yang berusia 14 tahun dan gemar menggunakan media sosial setiap hari lebih banyak gejala depresi dibandingkan anak laki-laki berusia 14 tahun, dengan cara yang sama. Sedangkan, pada anak laki-laki kecemasan disebabkan dari penggunaan media sosial. 

Anak perempuan cendrung lebih menggunakan media sosial seperti Snapchat atau Instragram yang lebih menampilkan penampilan fisik, mengambil foto dan mengomentari foto.

Kemudian juga cenderung terbawa perasaan ketika menggunakan media sosial ketika melihat kehidupan orang lain lebih baik mereka cenderung merasa hidup mereka tidak baik (misal, tidak pandai berdandan, tidak putih dan langsing mereka merasa jelek) yang membuat depresi, padahal, mereka dapat melakukan yang dilihat di “rumah” yang mereka tinggali yaitu dunia nyata. 

Anak laki-laki, merasa cemas terkait masa depan dan tuntutan kesuksesan yang harus mereka capai. Perasaan depresi dan cemas dapat memicu masalah kesehatan mental seperti depresi berlebihan, penggunaan narkoba dan alcohol, bahkan bunuh diri.

Personal Branding yang ditunjukkan oleh influencer, youtubers, dan selebgram Indonesia di media sosial dapat dikatakan cukup mengkhawatirkan. 

Terkadang, sikap dan perilaku mereka untuk menjadi terkenal dapat merusak moral, perilaku, dan jati diri remaja. Contohnya selebgram yang terkenal karena sering menggunakan diksi yang kasar, gaya berpacaran yang kebarat-baratan, bersiteru dengan teman, berbohong, sering memamerkan harta, dan hal lain. 

Sayangnya, remaja saat ini lebih menyukai hal-hal tersebut seakan-akan mereka adalah panutan yang baik bagi mereka dibandingkan informasi penting yang terjadi saat ini. 

Buruknya, pada sebuah video yang menampilkan seorang anak Sekolah Dasar (SD) lebih hafal lagu yang tren di media sosial dibandingkan lagu nasional. Hal tersebut dapat menyebabkan remaja tidak memiliki identitas diri bangsa, kesenjangan norma, dan moral yang dianut oleh masyarakat Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun