3. Kepulauan Riau
Fiskal SDA dan Kawasan Strategis Maritim Sebagai wilayah perbatasan dengan arus perdagangan padat, Kepulauan Riau memiliki posisi strategis dalam jalur maritim internasional. Pemerintah daerah berupaya menerapkan prinsip Blue Economy melalui pengembangan industri perikanan modern di Batam--Bintan--Karimun dan rehabilitasi ekosistem mangrove untuk mendukung karbon biru (blue carbon). Namun, sebagian besar investasi masih terfokus pada industri daratan, sehingga sinergi ekonomi laut dengan fiskal daerah belum maksimal.
4. Sulawesi Tenggara
Pengelolaan Perikanan dan Rehabilitasi Ekosistem Provinsi ini menunjukkan praktik menarik melalui model co-management antara pemerintah daerah dan komunitas nelayan di Teluk Kendari dan Wakatobi. Penerapan teknologi e-logbook untuk pelaporan hasil tangkap serta restorasi terumbu karang berbasis masyarakat telah meningkatkan transparansi dan keberlanjutan perikanan lokal.Â
Meskipun skalanya masih terbatas, inisiatif ini membuktikan potensi besar integrasi sosial-ekologi dalam Blue Economy.
Dari keempat wilayah tersebut terlihat bahwa Blue Economy telah mulai diterapkan, namun masih bersifat sektoral dan belum membentuk sistem ekonomi kepulauan yang terintegrasi. Perbedaan kapasitas fiskal, infrastruktur, dan kelembagaan antar daerah menunjukkan perlunya pendekatan yang lebih sistematis dan lintas-sektor.
Penerapan model integratif ini tentu menghadapi tantangan. Pertama, asimetri data dan kebijakan antarwilayah menyebabkan perencanaan pembangunan laut tidak sinkron dengan kebutuhan lokal. Kedua, minimnya investasi swasta biru karena belum adanya regulasi yang memberi kepastian jangka panjang. Ketiga, kapasitas SDM maritim yang masih rendah, membuat inovasi dan adopsi teknologi berjalan lambat.
Untuk mengatasi hal tersebut, ada beberapa langkah strategis yang perlu ditempuh:
1. Membangun Pusat Data Ekonomi Laut Nasional yang memetakan potensi tiap wilayah kepulauan secara real time, sehingga perencanaan pembangunan berbasis bukti (evidence-based planning) dapat dilakukan dengan presisi.
2. Mengembangkan kebijakan fiskal adaptif kepulauan, dengan formula transfer yang mempertimbangkan faktor geografis dan ekologi laut sebagai dasar alokasi anggaran.
3. Mendorong investasi hijau-biru (green-blue investment) melalui kolaborasi pemerintah, BUMN, dan sektor swasta dalam skema Public--Private Partnership (PPP) berbasis keberlanjutan.
4. Memperkuat kapasitas masyarakat pesisir melalui pendidikan vokasi maritim, inkubator bisnis kelautan, serta digitalisasi UMKM bahari.
5. Menegakkan tata kelola laut berkeadilan, agar masyarakat lokal tidak hanya menjadi penonton, tetapi pelaku utama dalam rantai nilai ekonomi biru.
Pada akhirnya, Model Integratif Blue Economic bukan sekadar konsep teoretis, melainkan peta jalan menuju kemandirian ekonomi kepulauan. Dengan menggabungkan inovasi fiskal, keberlanjutan ekologi, dan partisipasi sosial, Indonesia dapat bertransformasi dari archipelagic state menjadi maritime powerhouse yang berdaulat, berdaya saing, dan berkeadilan.