Mohon tunggu...
Irawan Abae
Irawan Abae Mohon Tunggu... Founder Wadah Ekonomi media riset dan kajian ekonomi

kita hanya butuh beberapa kata untuk menyusunnya menjadi kalimat, dengan segenap tinta untuk menyusunnya menjadi sebuah cerita pendek. hanya butuh kata-kata untuk menjelaskan pada semesta bahwa kita butuh pena untuk mengungkapkan rasa

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

FISKAL DESA DALAM BAYANG-BAYANG KORUPSI: Desa Mandiri jauh dari Harapan

1 Oktober 2025   19:17 Diperbarui: 1 Oktober 2025   19:17 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Tulisan (sumber: Irawan Abae)

Ketika Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa diberlakukan, banyak pihak optimistis bahwa inilah tonggak baru dalam sejarah pembangunan Indonesia. Untuk pertama kalinya, desa tidak hanya ditempatkan sebagai objek kebijakan, melainkan subjek pembangunan yang berdaulat mengelola anggaran sendiri. Transfer Dana Desa melalui APBN menjadi instrumen fiskal yang dianggap mampu mempercepat kemandirian desa.

Sejak pertama kali digulirkan pada tahun 2015, alokasi Dana Desa terus meningkat. Menurut data Kementerian Keuangan, total dana yang dikucurkan hingga 2024 telah mencapai lebih dari Rp 500 triliun. Angka fantastis ini menjadikan program Dana Desa sebagai salah satu kebijakan fiskal terbesar di sektor pembangunan lokal. Harapannya jelas, pembangunan infrastruktur dasar, peningkatan kualitas SDM, dan lahirnya desa mandiri.

Di balik optimisme itu, realitas di lapangan menunjukkan paradoks. Banyak desa masih tertinggal, angka kemiskinan pedesaan belum turun signifikan, bahkan Indeks Desa Membangun (IDM) memperlihatkan bahwa sebagian besar desa tetap berada pada kategori berkembang. Artinya, kucuran dana yang begitu besar belum berhasil membawa lompatan berarti.

Salah satu penyebab utama stagnasi tersebut adalah tata kelola fiskal desa yang rapuh. Lemahnya kapasitas aparatur desa dalam perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan anggaran membuka ruang penyalahgunaan. Dalam banyak kasus, kepala desa dan perangkatnya justru menjadikan Dana Desa sebagai "ladang bancakan" ketimbang instrumen pembangunan.

Studi kasus korupsi Dana Desa dapat ditemukan di berbagai wilayah. Misalnya, kasus di Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur, tahun 2017, ketika Bupati Pamekasan dan sejumlah pejabat desa tertangkap tangan KPK dalam suap terkait Dana Desa. Uang yang seharusnya digunakan untuk pembangunan justru dialihkan untuk kepentingan pribadi dan transaksi politik.

Kasus lain terjadi di Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara. Pada 2021, seorang kepala desa divonis penjara karena terbukti menyelewengkan Dana Desa lebih dari Rp 600 juta. Dana yang semestinya digunakan untuk pembangunan jalan desa dan fasilitas air bersih justru dipakai untuk kepentingan konsumtif pribadi, termasuk membeli kendaraan mewah.

Fenomena ini bukan sekadar insiden, melainkan pola berulang. Data KPK mencatat, sejak 2015 hingga 2023, terdapat lebih dari 600 kasus korupsi Dana Desa dengan nilai kerugian negara mencapai triliunan rupiah. Angka tersebut menempatkan Dana Desa sebagai salah satu pos anggaran paling rawan dikorupsi di Indonesia.

Jika ditelisik lebih dalam, ada beberapa faktor yang melatarbelakangi rentannya Dana Desa terhadap korupsi. Pertama, struktur pengawasan yang lemah. Mekanisme audit sering kali hanya bersifat formalitas, sementara peran masyarakat desa dalam mengontrol penggunaan anggaran masih minim karena keterbatasan literasi fiskal. Kedua, kapasitas manajerial aparatur desa masih rendah. 

Banyak kepala desa terpilih bukan karena kompetensi administratif, melainkan faktor politik lokal. Akibatnya, perencanaan anggaran tidak berbasis kebutuhan riil desa, melainkan diarahkan pada proyek-proyek yang mudah "dimainkan" demi keuntungan pribadi. Ketiga, budaya patronase politik turut memperparah. Tidak sedikit kepala desa yang merasa "berutang budi" pada pihak tertentu saat pemilihan, sehingga Dana Desa dijadikan sumber balas jasa politik. Hal ini menggerus orientasi pembangunan dan menjerumuskan fiskal desa ke dalam lingkaran oligarki lokal.

Ironisnya, di tengah maraknya penyalahgunaan anggaran, capaian kemandirian desa justru tertinggal jauh. Berdasarkan data Kementerian Desa, pada tahun 2024 hanya sekitar 6% desa di Indonesia yang berstatus mandiri. Sebagian besar desa masih berkutat pada status berkembang dan tertinggal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun