Mohon tunggu...
Ira Oemar
Ira Oemar Mohon Tunggu... lainnya -

Live your life in such a way so that you will never been afraid of tomorrow nor ashamed of yesterday.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Kiat Tetap Makan Sehat Saat Harga Sekarat

18 Maret 2013   09:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:34 2840
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_243119" align="aligncenter" width="547" caption="foto: koleksi pribadi"][/caption]

Sudah lebih dua pekan ini masyarakat Indonesia diributkan oleh bawang merah dan bawang putih. Bukan cerita klasik tentang seorang gadis yang teraniaya ibu dan saudara tirinya, tapi ini soal harga dua macam bumbu inti yang hampir selalu ada dalam resep masakan tradisional Indonesia. Bawang putih yang semula Rp. 13.000,- sampai Rp. 15.000,- per kilogram, sekarang melambung jadi Rp. 60.000,- sampai Rp. 80.000,- sekilonya. Bahkan kabarnya di NTT mencapai Rp. 160.000,-/kg! Harga yang sangat tak masuk akal.

Kali ini, bawang merah kompak dengan bawang putih. Harganya pun melayang mendekati harga bawang putih, berkisar Rp. 40.000,- sampai Rp. 60.000,- per kilogram. Kalau dulu para ibu bisa membeli bawang merah dan bawang putih eceran di tukang sayur atau di lapak pengecer di pasar tradisional cukup dengan harga 1000 – 2000 perak untuk beberapa siung bawang, sekarang uang segitu tak dapat apa-apa.

Rasanya kisruh melambungnya harga bahan pangan gila-gilaan bukan baru kali ini saja terjadi di negeri penuh permainan ini. Akhir tahun 2012, kita diributkan melonjaknya harga daging sapi yang mencapai Rp. 80.000,- sampai Rp. 100.000,- per kilo, konon ini harga daging sapi termahal di dunia. Betapa tidak, di sejumlah negara Eropa, Amerika dan negara-negara Asia selain Indonesia, harga daging sapi hanya Rp. 40.000,- - Rp. 50.000,- per kilo. Pantas saja importir daging rela menyuap demi mendapatkan kuota impor. Kabarnya, kuota impor diperjualbelikan dengan harga Rp. 5.000,-/kg. Tentu tak rugi importir menyuap 5000 perak kalau mereka bisa menangguk untung Rp. 40.000,-sampai Rp. 50.000,- per kilo dari harga beli di negara asalnya.

Efek domino dari melambungnya harga bawang, harga cabai dan tomat buah pun kini merangkak naik. Sebenarnya harga cabai naik dan pasokan langka sudah sering terjadi sejak jaman Orba. Padahal, masyarakat Indonesia umumnya doyan masakan pedas dan sambal adalah salah satu pelengkap yang selalu ada di meja makan keluarga Indonesia. Tentu saja fluktuasi harga cabai dan tomat berpengaruh besar pada “kesehatan dompet” ibu rumah tangga.

[caption id="attachment_243120" align="aligncenter" width="576" caption="2 komoditas yang sudah siap-siapnaik harga (foto : koleksi pribadi)"]

13635968951831201707
13635968951831201707
[/caption]

Lalu, apa dampaknya bagi kaum ibu? Memasak apapun tentu butuh bumbu. Kalau bumbu mahal, jelas anggaran belanja naik. Padahal kalau sehari-hari memasak 2 macam lauk plus sayuran, kita butuh setidaknya 5-6 siung bawang putih dan bawang merah kira-kira 8-10 siung. Belum lagi bawang goreng untuk taburan masakan agar aromanya lebih kuat. Bisa-bisa, anggaran bumbu saja seminggu naik Rp. 20.000,- (asumsinya konsumsi bawang putih dan bawang merah seminggu seperempat kilogram). Bukan jumlah uang yang sedikit di jaman serba sulit.

Itu baru hitung-hitungan anggaran belanja dapur keluarga sedang. Bagaimana kalau keluarga besar? Bagaimana pula dengan pemilik warung makan yang sehari butuh masing-masing sekilo bawang merah dan putih? Bisa-bisa kenaikan anggaran kulakannya jadi Rp. 75.000,- per hari. Jelas kenaikan fantastis ini menggerus margin keuntungannya. Padahal, mereka buka usaha tujuannya cari untung. Wajar, sebab usaha itulah yang jadi sumber nafkahnya. Kalau harga kulakan bahan baku bumbu saja sudah bikin rugi, tentu pedagang makanan matang akan cari cara untuk menekan kerugian.

Biasanya, menaikkan harga jual adalah opsi terakhir. Pedagang makanan juga tak ingin kehilangan pelanggan. Mengurangi porsi atau memperkecil ukuran potongan makanan, itu langkah pertama yang umum dilakukan. Itu kalau yang naik harga adalah bahan baku makanan, misalnya beras, daging sapi, ayam potong, tahu-tempe, dll. Tapi bagaimana kalau yang naik harga bumbu (bawang putih-merah, cabai, tomat)? Kalau bumbu dikurangi, dampaknya ke rasa masakan yang jadi kurang enak.

Maka, pedagang makanan perlu putar otak. Salah satunya membeli bumbu yang sudah agak busuk. Sebuah tayangan di TV berita, meliput kiat pedagang bawang untuk mensiasati langkanya pasokan bawang putih dan daya beli konsumen yang turun akibat melambungnya harga. Mereka menjual bawang putih yang sudah mulai membusuk, dalam kondisi sudah dikupas, bawang putih yang sudah kecoklatan dan mengkerut itu dijual seharag Rp. 20.000,-/kg. Lumayan laku, seorang pedagang mengaku per harinya dia bisa menjual sekitar 10 kilo. Pembeli umumnya pemilik warung makan. Sebab mereka inilah yang paling terkena dampak mahalnya bumbu.

Cara lain adalah mengganti bumbu asli dengan bumbu “imitasi”. Di jaman serba instant, aneka merk bumbu instant yang mengklaim komposisinya komplit, takarannya pas, sesuai untuk semua jenis masakan, sudah all in one, tak perlu tambahan bumbu lain, tersedia di mana-mana. Klaim yang terdengar to good to be true ini makin tak masuk akal jika melihat harganya yang relatif murah. Mana mungkin sebuah racikan bumbu bisa cocok untuk semua resep masakan? Lebih tak masuk akal lagi, katanya bahan bakunya asli dari ayam, sapi, aneka bumbu, tapi satu sachet hanya dihargai 2000 – 4000 perak saja. Padahal ongkos produksi kemasannya saja sudah berapa?

[caption id="attachment_243121" align="aligncenter" width="549" caption="Flavor (perasa) substitusi rasa ayam, sapi, dll dicampur anek penyedap kimiawi. Cermati harganya, murah sekali bukan?"]

1363596985946135416
1363596985946135416
[/caption]

Itu harga bumbu masak instant yang “bermerk”. Di pasar tradisional atau yang dijual tukang sayur keliling, banyak pula merk bumbu racik instant yang merknya tak terdengar, kemasannya dibuat mirip dengan merk yang ngetop di iklan tivi, logo dan merk-nya pun dibuat serupa, tentu dengan harga jual yang lebih murah. Dengan 1000 – 2000 perak saja sudah bisa membeli 1 sachet ukuran sedang. Biasanya, di kios pedagang bumbu di pasar tradisional, bumbu kemasan seperti ini digantung serenteng dan umumnya penjual makanan/ pemilik warung makan membeli dalam jumlah banyak. Ini juga salah satu kiat menekan fluktuasi anggaran belanja bumbu. Di saat harga bumbu melangit seperti sekarang, bumbu instant kimiawi yang harganya stabil dan murah ini berperan besar menggantikannya.

Lain lagi trik pedagang daging sapi. Melambungnya harga daging sapi, membuat permintaan konsumen menurun karena tak terjangkau isi kantongmereka. Akibatnya banyak daging tak terjual habis. Tentu pedagang tak ingin rugi bukan? Acara “Reportase Investigasi” di Trans TV pekan lalu menayangkan kiat pedagang daging sapi nakal. Daging yang sudah hampir membusuk berwarna kebiruan dan dikerumuni lalat cukup ditaburi dengan boraks dan sendawa, dalam waktu sekejap berubah warna jadi merah segar dan kenyal kembali. Tinggal dimasukkan ke lemari pendingin, siap untuk dijual lagi esok harinya. Harganya lebih murah dari harga normal tak mengapa. Pembeli dalam jumlah besar tentu senang bisa mendapatkan daging “segar” harga murah. Tapi ketika dibawa ke laboratorium, jumlah bakteri dan kuman yang ada di dalam daging itu jauh di atas ambang batas, bahkan sampai berpuluh kali lipat dari jumlah bakteri yang ditolerir.

Di acara serupa beberapa bulanlalu, ditayangkan kiat pedagang makanan mendapatkan telur harga murah. Mereka membeli telur pecah/retak dari agen telur. Saat bongkar muat telur dari truk tak bisa dihindari banyak telur yang pecah. Telur inilah yang oleh agen telur dijual murah, hanya 500 perak per butir. Padahal, kulit telur itu masih dalam keadaan kotor – terkadang berbalut kotoran ayam – dan ketika pecah, sebagian retakan kulitnya masuk ke cairan telur. Lalu telur retak/pecah itu dibiarkan di suhu kamar (bukan dalam freezer). Lalat pun menyerbu, bertelur di atasnya dan dalam tempo 1-2 hari belatung pun berkembang biak. Dalam tayangan itu jelas diperlihatkan bagaimana para pedagang nakal itu tetap mengolah telur-telur yang sudah berbelatung dan berulat, cukup membuang belatung dan ulatnya. Mual saya melihatnya.

[caption id="attachment_243123" align="aligncenter" width="454" caption="Daging sapi di Indonesia termahal di dunia, karena 200% dari harga rata-rata pasar dunia"]

13635976081971909346
13635976081971909346
[/caption]

Belum lagi tayangan tentang ayam bumbu kuning yang ternyata bumbunya bukan kunyit melainkan Riva*** - cairan pencuci/pengompres luka – sehingga ayam tampak berwarna kuning cerah. Episode tayangan ini pernah dijadikan bahan diskusi di Kaskus. Tukang sayur langganan saya cerita, ia pernah melihat dengan mata kepala sendiri , bagaimana tahu sutra yang dikenal dengan nama “tahu Bandung” yang biasanya berwarna kuning karena direndam kunyit, pada pedagang nakal warna  kuningnya didapat dari pewarna celupan tekstil yang jelas mengandung Rhodamin. Memang tahu yang berpewarna tekstill lebih tahan lama dibandingkan dengan rendaman air kunyit yang kena air saja bisa luntur.

Tentu saja tak semua pedagang makanan dan pemilik warung makan berbuat curang seperti itu. Mereka yang jujur lebih memilih tetap menjaga mutu makanannya, tentu dengan konsekwensi menaikkan harga jual. Biasanya pedagang yang seperti ini sudah punya pelanggan setia yang tak terpengaruh dengan kenaikan harga dan punya daya beli yang tidak rentan. Pembeli yang seperi ini umumnya bisa memaklumi kenaikan harga dan tetap mampu membeli meski harga naik.

Hanya saja, apakah kita punya kemampuan mendeteksi mana pedagang yang jujur dan yang nakal? Acara Reportasi Investigasi sudah tayang selama bertahun-tahun dengan waktu tayang dua kali dalam seminggu. Setidaknya dalam setahun ada 100 episode, di mana tiap episode mereka melakukan investigasi pada beberapa pedagang sekaligus, tergantung thema tayangan hari itu. Selama sekian tahun tayang, acara itu tak pernah kehabisan obyek liputan. Sebagian besar tentang pedagang makanan dan jajanan anak-anak. Artinya : selalu ada kiat nakal mengakali mahalnya bahan pangan. Itu sudah jadi “rumus umum” kebanyakan pedagang makanan. Mulai dari yang kelas pinggir jalan atau di pasar tradisional, sampai yang kelas menengah.

[caption id="attachment_243125" align="aligncenter" width="606" caption="Tahu kuning yang menggunakan kunyit biasanya butiran kunyitnya masih tersisa dan bau kunyit tercium."]

13635976751863319430
13635976751863319430
[/caption]

Lalu bagaimana kiatnya agar tetap bisa menyajikan makanan sehat untuk keluarga? Jalan terbaik adalah memasak sendiri. Memasak sendiri tetaplah biaya termurah yang harus dibayar, sebab motifnya bukan ekonomi, melainkan dilandasi rasa sayang keluarga. Memang sekilas kalau dihitung di atas kertas, tampaknya masak sendiri terasa mahal saat ada kenaikan harga bahan baku. Tapi coba pikirkan dengan logis : kalau dapur rumah tangga sehari hanya butuh 5 siung bawang, bagaimana dengan pedagang makanan yang sehari butuh sekilo bawang? Mestinya kenaikan harga yang mereka tanggung lebih besar lagi. Kalau mereka mampu menjual harga makanannya dengan harga tetap, justru kita perlu curiga.

Kenaikan harga ini terjadi diseluruh Indonesia, semua merasakannya. Kita bisa saja marah pada Pemerintah yang tak becus mengendalikan harga dan menjaga ketersediaan pasokan bahan pangan. Tapi toh kenaikan harga tetap harus kita tanggung bukan? Maka, makin mahal harga bahan baku makanan, makin kurangilah beli makanan di luar. Masak sendiri, sedikit mengurangi bumbu tak apalah. Mungkin rasanya sedikit kurang enak, tapi yang jelas tetap sehat. Untuk jangka panjang, sehat ini jauh lebih murah. Bayangkan, dengan bumbu kimiawi (flavor, MSG, penggurih/HVP) atau dengan bawang putih busuk yang dipakai pedagang makanan, kita merelakan anggota keluarga terkasih teracuni zat karsinogenik yang jadi cikal bakal kanker. Zat-zat kimiawi itu jika terus menumpuk dalam tubuh juga akan merusak jaringan sel otak.

Jangan mudah termakan iklan bumbu masak atau mie instant. Belakangan ada merk mie instant yang memakai anak-anak sebagai bintang iklannya, menyuguhkan iklan yang mengklaim mie itu kuahnya aman diminum dan bumbunya aman diseduh begitu saja. Padahal, jelas-jelas air rebusan mie instant itu justru dianjurkan untuk dibuang dan bumbu instant yang ada dalam kemasan mie justru lebih berbahaya ketika bereaksi dengan air mendidih. Ini yang jadi pemicu kanker, setidaknya begitu yang pernah saya saksikan di televisi.

[caption id="attachment_243126" align="aligncenter" width="576" caption="Komoditas bahan pangan yang seringkali mengalami naik turun harga cukup tajam."]

1363597872287784709
1363597872287784709
[/caption]

Setiap hari, di dunia yang makin sesak dengan berbagai polutan ini kita sudah terpapar oksidan macam-macam. Belum lagi pola hidup tak sehat dan rentan stress akibat kemacetan dan aneka persoalan. Jangan lagi ditambah dengan mengkonsumsi makanan terpapar bahan kimiawi yang tak sehat. Ketimbang membeli bumbu instant, menggerus bumbu asli lebih murah dan sehat. Ketimbang mempercayakan kenikmatan masakan pada MSG (populer dengan nama vetsin/michin), lebih baik ganti dengan campuran garam dan gula. Satu hal lagi : jangan biasakan anak-anak mengkonsumsi junk food alias makanan sampah. Di negara asalnya saja makanan jenis itu sudah dinyatakan tak sehat, di sini justru jadi simbol prestise kelas sosial dan tempat nongkrong anak muda. Sesekali sekedar membunuh rasa pengen, bolehlah makan di resto junk food 3 bulan sekali. Jangan tukar kesehatan jangka panjang keluarga kita dengan membiasakan pola konsumsi makanan tak sehat. Jangan sampai harga bahan pangan mahal, kita masih harus mengeluarkan biaya ekstra untuk kesehatan kita yang tergadai.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun