Mohon tunggu...
Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis buku "Keliling Sumatera Luar Dalam" dan "Keliling Nusa Tenggara Luar Dalam"

Selanjutnya

Tutup

Money

Buruh Penuntut, Pengusaha Tidak Transparan

5 November 2013   22:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:33 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1383663544906004892

[caption id="attachment_290209" align="alignleft" width="300" caption="Aksi buruh. Dok: Sindo News"][/caption] Barusan, Selasa sore (5/11), saya mendapatkan SMS dari Said Iqbal. Dia adalah seorang aktivis buruh yang belakangan sering muncul dengan tuntutan kenaikan upah buruh. Isi SMS-nya begini:

Penetapan UMP DKI Rp2.441.301 diputuskan berdasarkan KHL tahun 2013 sebesar Rp2.299.806. Padahal anggota dewan pengupahan dari unsur buruh sudah mengusulkan KHL harus menggunakan KHL 2014 sebesar Rp2.767.320 karena UMP-nya untuk tahun 2014. Tetapi Gubernur Jokowi tidak mau sama sekali mempertimbangkan usulan buruh yang sangat rasional itu….” Dst.

SMS semacam itu sering kali saya dapat dari Said Iqbal langsung dari nomornya. Mungkin, itu karena saya cukup dekat dengannya. Dulu, saya sering meneleponnya sebagai nara sumber dari perwakilan buruh, biasanya sebagai counter pernyataan pengusaha mengenai upah. “GImana Bung?” Begitu biasanya dia menyapa saya lewat telepon.

Secara personal, saya mengenal Said Iqbal orang yang agamis dan dia adalah orator andal. Jarang ada aktivis buruh yang mempunyai kecakapan intelektual dan kecakapan berorasi seperti Said Iqbal. Saya begitu apresiasi ketika dia berhasil memperjuangkan agar upah buruh naik signifikan pada awal 2013 lalu. Dan betul bahwa banyak perusahaan yang menaikkan upah buruhnya. Di Jakarta, Upah Minimum Provinsi (UMP) naik 44% dari Rp1,5 juta pada 2012 menjadi Rp2,2 juta pada 2013.

Saya bertemu dengan seorang buruh di sebuah perusahaan besar. Dia mengaku bahagia karena upahnya naik signifikan. Usahanya berdemo ke seputaran Jakarta Pusat terasa sudah manfaatnya. Saya pun senang mendengar kabar tersebut. Jadi, pada Januari 2013, buruh Jakarta sudah mendapat upah minimum Rp2,2 juta. Meskipun banyak juga perusahaan yang meminta penangguhan.

Namun begitu, saya menjadi apriori karena tidak lama setelah keberhasilan itu, Said Iqbal menuntut agar upah buruh naik lagi dengan signifikan. Di Jakarta sendiri, UMP 2014 dituntut menjadi Rp3,7 juta. Said Iqbal begitu kuat mendorong tuntutan ini.

Saya melihat cara buruh menuntut itu baik, rapi. Barisan pendemo rapi berjajar dengan kostum yang seragam. Ada masyarakat yang teriak mengeluhkan bahwa aksi buruh hanya membuat macet. Iya juga, tapi bukankah itu merupakan konsekuensi berdemokrasi? Memang kadang Pemerintah ini kurang bisa mendengar kalau tidak diteriakkan ribuan orang.

Tetapi yang perlu direnungkan adalah, apa permintaan mereka tidak kelewatan? Kalau Pemerintah mengamini lagi tuntutan mereka, bisa jadi tahun depan meminta yang lebih lagi.

Menurut Said Iqbal, tuntutan tersebut wajar. Pengusaha Indonesia mampu untuk membayar lebih tinggi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia itu ada dalam kisaran 6%. “Ekonomi Indonesia bagus. Banyak investor yang mau masuk. Masak gak sanggup bayar segitu,” kata Said Iqbal.

##

Sementara di sisi pengusaha, buruh digambarkan sebagai penuntut yang tidak ada habisnya. Saya mendengar langsung tanggapan dari Anton Supit, seorang petinggi di Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang mengatakan bahwa filosofi buruh itu begini. Ketika ditanya, what do you want? Mereka akan jawab we want more. Dan ketika ditanya what is the limit? The sky is the limit. Anton bilang, akan banyak perusahaan yang tutup atau pindah kalau UMP ditetapkan begitu tinggi.

Yang dikeluhkan para pengusaha adalah bahwa peningkatan upah buruh tidak diiringi dengan produktivitas. Hasil produksinya segitu-segitu saja meskipun upah sudah dinaikkan. Itu yang membuat para pengusaha sebal dan merasa kenaikan upah tidak ada manfaatnya. Kegundahan pengusaha ini patut untuk dimaklumi

Di luar keluhan pengusaha yang patut dimaklumi itu, terselip cerita menarik. Di sebuah forum, seorang Ketua pengusaha Korea mengatakan bahwa, kalau upah buruh Indonesia dinaikkan, maka akan banyak perusahaan padat karya yang tutup, misalnya perusahaan alas kaki. Si ketua pengusaha Korea ini mencontohkan “Bata” sebagai salah satu pabrik alas kaki yang sudah tutup akibat tidak mampu membayar upah buruh yang terlalu tinggi.

Lucunya, tiba-tiba ada seorang peserta dalam forum itu mengatakan begini: Saya dari Bata Pak, mohon diralat, sampai sekarang Bata masih buka dan masih berproduksi.

Dari situ saya menarik kesimpulan bahwa pengusaha tidak betul-betul transparan dalam bisnisnya. Dia mengatakan sudah rugi, padahal mungkin bukan rugi, tetapi profitnya menurun.

Dengan begitu, maka wajar saja kalau masalah upah ini menjadi masalah yang ruwet dan seperti tidak ada habisnya. Itu karena buruh tidak henti-hentinya menuntut, sementara pengusahanya tidak transparan dalam menyampaikan “dapur” bisnisnya. Pemerintahnya juga loyo dalam fungsi sebagai penengah. Sehingga forum tripartit (buruh, pengusaha, dan pemerintah) yang diharapkan dapat menyelesaikan masalah upah ini dengan baik, jadinya seperti hanya forum mandul tempat orang-orang menuntut hak, tanpa peduli apa yang dirasakan pihak lain.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun