Mono loyalitas pada praktek dokter
Di media Sosial, terutama  medsos kalangan dokter , ramai di perbincangkan tentang banyaknya RS (terutama RS Pemerintah) tentang penerapan sistim "Mono Loyalitas",  artinya dokter di RS tersebut hanya boleh ber Praktek Kedokteran di RS tersebut. Artinya hanya 1 izin praktek untuk dokter tersebut.
Sebagaimana diketahui,
UU Â Republik Indonesia no 29 tahun 2004 tentang Praktik kedokteran
Pada pasal 37 ayat 2) disebutkan
(2) Surat izin praktik dokter atau dokter gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat.
(3) Satu surat izin praktik hanya berlaku untuk 1 (satu) tempat praktik.
Jadi sudah ada rambu2 dari Pemerintah bahwa dokter hanya boleh maksimal di 3 tempat yang berbeda, baik di RS ataupun Praktek Swasta Perorangan.
Persoalan "mono loyalitas" yang di terapkan oleh pihak managemen RS, secara langsung tentunya sangat merugikan dokter.
Sistim  "Mono Loyalitas" yang diterapkan pihak managemen RS, biasanya hanya di terapkan pada dokter2 yunior yang pada saat di terima di RS tersebut, "di haruskan" menanda tangani Pernyataan "Mono Loyalitas" diatasi surat bermeterai, sedang untuk dokter2 senior , karena sudah terlanjur punya 3 tempat praktek, " mono loyalitas" tidak di lakukan. Paling tidak kemungkinan baru bisa di terapkan bila STR ( Surat Tanda Registrasi) yang berkaitan dengan izin praktek nya habis masa berlakunya.
Ada juga managemen yang tidak secara terang2 menerapkan "mono loyalitas". Sebagaimana di ketahui, prosedur tempat praktek ke 2 dan 3 kan harus seizin RS tempat Izin praktek pertama, tapi  kalau rekomendasi dari RS yg bersangkutan tidak turun2, kan sama juga bohong
Perlu di ketahui, STR dokter hanya berlaku 5 tahun, setelah 5 tahun harus melakukan pembaruan STR ke Kolegium Kedokteran Indonesia ( KKI) dgn syarat2 yang cukup ketat.
Tentu saja sistim "mono loyalitas" sangat merugikan dokter, terutama dokter2 yunior. Banyak kasus yang akhirnya berujung pada pengunduran diri dokter2 tersebut dari RS tersebut dan mencari RS lain yang tidak menerapkan sistim mini loyalitas.
Apabila kita telaah UU no 29 tahun 2004 pada pasal 37 ayat 2 butir 2) jelas tertera bahwa pemerintah memberikan maksimal 3 tempat praktek, artinya dokter "mempunyai hak untuk mendapatkan 3 izin praktek" , sehingga sistim mono loyalitas bisa di anggap "melanggar Hak Azasi Manusia". Permasalahannya dokter2 yunior tidak mempunyai posisi tawar yang kuat, sehingga mereka akhirnya menanda tangani Surat "mono loyalitas", atau "mengundurkan diri".
Ada beberapa dokter akhirnya mengeluh ke IDI ( Ikatan Dokter Indonesia) dan akan di fasilitasi IDI, tetapi prospeknya masih di pertanyakan keberhasilannya.