Mohon tunggu...
intan rahmadewi
intan rahmadewi Mohon Tunggu... Wiraswasta - bisnis woman

seorang yang sangat menyukai fashion

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tantangan Pers di Era Milenial Melawan Hoaks dan Kebencian

11 Februari 2019   23:11 Diperbarui: 12 Februari 2019   00:06 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anti Hoax - http://www.citizendaily.net

Saat ini, perkembangan media sosial terjadi begitu cepat. Untuk mendapatkan informasi yang sedang berkembang, masyarakat tidak lagi menggantungkan pada media konvensional atau media mainstream,m, tapi juga sudah mulai menggantungkan ke media sosial. Sepanjang informasi yang berkembang tersebut benar, valid, dan sesuai dengan fakta, tidak ada persoalan. Namun jika informasi yang berkembang tersebut bohong, ini perlu diwaspadai. Terlebih lagi jika para tokoh atau elit juga menjadikan informasi bohong tersebut sebagai sebuah rujukan, akan berdampak pada kebohongan massal. Dan pada titik inilah kebohongan akan dianggap sebagai kebenaran oleh para korban informasi hoax.

Jika melihat realita yang terjadi saat ini, informasi yang belum tentu kebenarannya bisa dengan mudah menjadi viral di media sosial. Padahal informasi yang viral tersebut belum tentu benar. Namun, karena sering menjadi pembicaraan publik, media mainstream seringkali juga memberitakan informasi viral tersebut. Akhirnya kebenaran pun dikesampingkan, dan digantikan oleh tingkat kepopuleran sebuah informasi. Ketika informasi yang popular menjadi bahan berita. Jika hal ini terus terjadi, dikhawatirkan akan diyakini sebagai sebuah kebenaran oleh masyarakat. Inilah yang menjadi tantangan terbesar jurnalisme saat ini, karena maraknya penyebaran berita bohong dan kebencian di media sosial.

Kondisi ini semakin diperparah karena tingkat literasi masyarakat yang masih rendah, membuat mereka mudah percaya dan terprovokasi. Apalagi jika informasi tersebut bernuansa SARA, dengan mudah memprovokasi masyarakat. Logika tidak lagi ada jika yang mengatakan informasi tersebut seorang tokoh. Cek ricek tidak akan terjadi, jika keyakinan itu menjadi penentu. Bahkan jika provokasi terus dilakukan, hal ini bisa memicu terjadinya konflik sosial di tengah masyarakat.

Media mainstream tidak boleh terpengaruh. Media mainstream harus mampu menghadirkan informasi yang faktual, dan tidak mengada-ada. Media mainstream juga harus menghadirkan informasi yang bisa menyatukan keragaman, bukan memecah belah kerukunan. Para jurnalis dan pemilik media harus sadar betul, bahwa media massa merupakan jembatan bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar. Jangan informasi tersebut dikurangi atau ditambah yang berpotensi bisa menjadi bias. Sekali lagi, media massa harus menjadi penyeimbang dan pusat informasi publik. Jika tidak, media sosial akan menjadi rujukan publik, karena terus menawarkan berbagai kemudahan.

Berdasarkan riset Trus Barometer pada 2018 lalu, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap media sosial memang masih tinggi, sebesar 63 persen dan media sosial sebesar 40 persen. Jika melihat angka ini, media mainstream memang masih menjadi rujukan utama. Hal ini sekali lagi menjadi tantangan utama media mainstream. Berikanlah kebenaran tentang apa saja ke masyarakat. Jika tidak, maka angka 40 persen tersebut bisa akan bertambah, karena media mainstream tidak pernah memberikan informasi yang berimbang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun