Mohon tunggu...
Rinnelya Agustien
Rinnelya Agustien Mohon Tunggu... Perawat - Pengelola TBM Pena dan Buku

seseorang yang ingin menjadi manfaat bagi sesama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar di Pelatihan Sokola (3)

16 Oktober 2017   07:02 Diperbarui: 16 Oktober 2017   08:52 618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Semua dimulai karena ada masalah....

Keingintahuanku mengenai gerakan literasi dijawab tuntas oleh semua pemateri. Setelah materi dari Kak Dilla mengenai filsafat pendidikan, keesokan harinya Bang Dodi menjelaskan mengenai assesment komunitas. Ini penting sekali menurutku agar apa yang kita tawarkan adalah apa yang mereka butuhkan. Kenapa aku memakai kata penawaran, karena menurutku setiap komunitas itu punya hak untuk menolak atau menerima bantuan. Bila mereka merasa tidak butuh bantuan, kita wajib menghargai itu. Jangan menambah sampah di tempat tinggal mereka. karena barang barang yang kita berikan tidak mereka gunakan.

Terdapat 3 aspek yang harus diperhatikan saat membuat gerakan literasi di satu komunitas yakni geografis daerah tersebut, budaya yang terintegrasi dalam semua aspek kehidupan, dan persoalan dan ancaman kehidupan komunitas. Sebenarnya apa itu komunitas dalam konteks ini ? komunitas adalah kumpulan manusia yang bertindak dengan segala kompleksitasnya dalam kehidupan manusia, kumpulan manusia ini punya aturan, norma, adat yang berlaku dalam kehidupan. Sokola sendiri sudah dan sedang melakukan kegiatan literasi di beberapa propinsi di Indonesia, (yang aku tau) di Suku Anak Dalam Jambi, Komunitas Kajang di Sulsel, komunitas di bawah kaki gunung Argopuro Jember Jatim, Kampung Mamugu Batas Batu di Papua.  Lalu apa yang harus kita lakukan pertama kali bila ingin melakukan gerakan literasi di komunitas tersebut ? setiap komunitas memiliki motif, pola pikir dan kepentingan dibalik semua tindakannya dalam keseharian hidup mereka. Dan itulah tugas kita sebagai relawan yang mau melakukan kegiatan literasi, yakni memahami sudut pandang mereka mengenai dunia tempat mereka tinggal dan realita yang ada. 

Sebenarnya semua akan baik baik saja bila tidak ada perubahan di masyarakat. Perubahan itu seperti keterbukaan akses pembangunan jalan, masuknya pendatang yang unggul dalam pendidikan, pendatang yang masuk karena motif ekonomi dan kemudian mengenalkan kebiasaan baru kepada penduduk setempat, belum lagi pemilik perusahaan yang selalu haus dengan uang, diperburuk lagi dengan pejabat daerah yang korupsi. Lengkap sudah. Komunitas setempat  tidak memiliki daya saing yang tangguh menghadapi perubahan ini, mereka masih banyak yang buta aksara, dan juga tidak memiliki pengalaman bila berurusan dengan uang. 

Dampak perubahan ini yakni, munculnya kata "miskin" di masyarakat Asmat sejak kedatangan para pendatang. Selama ini definisi "miskin- kaya" tidak dikenal oleh mereka, karena mereka tinggal secara komunal dan kebutuhan hidup ditanggung bersama. Sejak ada pendatang kehidupan mereka yang dilimpahi sumber daya alam mulai diperbandingkan dengan kepemilikan barang penduduk pendatang dari luar. Kemudian banyaknya peralihan kepemilikan lahan yang diperjualbelikan ke pendatang dengan harga tidak adil. Kehadiran pendatang mengubah orientasi mereka,  kebutuhan primer mereka sekarang gula,kopi ,rokok dan mi instan begitu cerita peserta yang menjadi volunteer di suku Asmat. Bagi kita yang hidup di kota uang memang dibutuhkan untuk beli beras, sayur dan lauknya. Sedangkan mereka yang kesehariannya tergantung dari alam, untuk kebutuhan makan tinggal tebang pohon sagu dan makan hasil hutan. 

Apabila tanah mereka terus menerus direbut dengan cara tidak adil, darimana mereka bisa makan ? Bila kebutuhan pangan harus diubah menjadi pola konsumtif, berarti mereka butuh uang untuk membelinya. Darimana mereka mendapatkan uang yang mencukupi, bila mereka tidak bisa baca tulis, tidak bersekolah dan tidak punya gelar sarjana. Dan akhirnya anak anak mereka disekolahkan, sementara kaum orang tua terus menua. Sekolah formal akan menjauhkan anak anak dari kehidupan mereka. Peraturan yang memaksa harus sekolah dari jam sekian hingga jam sekian, materi pelajaran yang teoritis, kemudian muncul persaingan siapa yang paling pintar lahirlah sikap individualis, mereka tidak lagi mengenal jati diri mereka. Kemudian sekolah formal menuntut mereka untuk pergi jauh ke daerah lain demi pendidikan yang lebih tinggi, beberapa tahun kemudian mereka kembali dan mereka asing dengan daerahnya. Karena tempat tinggal mereka berubah menjadi lahan sempit, karena habis dijual untuk kebutuhan sekolah mereka.  Aaah.. ini mungkin skenarionya. Aku jadi ingat seseorang yang pernah mengatakan "Tanah air, tanah saja tidak punya air saja harus beli".

Dalam pemaparannya, Bang Dody menekankan pentingnya assesment (pengkajian) sebelum melakukan kegiatan literasi. Assesment dilakukan untuk mendapatkan gambaran keseharian masyarakat komunitas, mulai dari :

1. Profil kependuduk dan wilayah

2. Kesejahteraan penduduk dan pemukiman

3. Profil mata pencaharian

4. Relasi dengan lingkungan dan sumber daya alam sekitar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun