Dari Morowali ke Bantaeng, dari Marosi hingga Wolo, udara industri kita mengandung kegelisahan. Seperti suara pelan tapi pasti dari cerobong yang menderu. Ada ketegangan yang membungkam, tapi terus membesar. Inilah babak baru dari seleksi alam di industri nikel Indonesia. Babak yang tidak ditulis oleh tangan takdir, tapi oleh kesiapan atau ketidaksiapan kita memahami isyarat perubahan.
Juni 2025. Di Morowali, informasi yang beredar menyebutkan sekitar 3.000 pekerja kehilangan pekerjaan mereka di kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP). Walau pihak manajemen membantah angka ini, Serikat Pekerja Nasional mengingatkan kita untuk tidak menutup mata dari tekanan besar yang mengintai. Di Bantaeng, sekitar 1.200 pekerja dari PT Huadi Nickel Alloy Indonesia dan anak-anak usahanya dilaporkan dirumahkan. Tanpa kejelasan. Tanpa surat resmi. Tanpa kepastian tentang nasib gaji dan masa depan mereka. Ada 600 nama dari PT Huadi Yatai. Ada 350 dari PT Huadi Wuzhou. Semua mereka bukan sekadar angka. Mereka adalah tubuh-tubuh yang selama ini menyangga kejayaan nikel nasional dari balik panas tungku smelter.
Apa Sebenarnya yang Terjadi dengan Industri Nikel Dunia?
1. Permintaan Global Lesu, Terutama dari China
Sebagai negara pengguna nikel terbesar dunia (±50%), China mengalami perlambatan ekonomi sejak 2023.
Penyebabnya antara lain:
Krisis properti besar (seperti Evergrande dan Country Garden),
Konsumsi domestik yang melemah,
Industri logam mereka mengalami kelebihan kapasitas.
Efek dominonya? Permintaan nikel global turun, harga ikut terjun bebas.
(Referensi: OECD Economic Outlook, Sept 2023)
2. Pasokan Dunia Kebablasan
Indonesia sekarang jadi raja nikel dunia. Menguasai lebih dari 50% pasokan global dalam bentuk NPI (Nickel Pig Iron).
Tapi di saat yang sama, Filipina, Rusia, bahkan Tiongkok sendiri juga tidak mengurangi produksi.
Akhirnya, pasar kebanjiran.
Dan seperti hukum dasar ekonomi: kalau pasokan terlalu banyak, harga pasti jatuh.