”Menjamurnya tempat hiburan malam yang turut juga menyediakan praktik prostitusi, menjadi salah satu pemicu meningkatnya penyebaran Human Immunodeficiency Virus-Acquired Immunodeficiency Syndrome (HIV-AIDS) di wilayah Kabupaten Cirebon. Tercatat mulai Januari hingga Mei 2012, tercatat 35 temuan kasus baru orang yang positif terjangkit HIV-AIDS.” Ini lead berita ”Tempat Hiburan Pemicu Penyebaran HIV-AIDS” di “Pikiran Rakyat” (4/6-2012).
Ada beberapa hal yang luput dari perhatian wartawan atau redaktur yang membuat lead berita itu.
Pertama, biar pun ada praktek prostitusi semua terpulang kepada laki-laki. Kalau laki-laki tidak mampir untuk melakukan hubungan seksual tentu tidak pernah terjadi sanggama.
Kedua, HIV/AIDS pada perempuan di tempat hiburan malam itu kemungkinan ditularkan laki-laki asli lokal. Nah, ini menunjukkan sudah ada penduduk yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi. Laki-laki ini dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai suami. Mereka inilah yang menyebarkan HIV di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Ketiga, ada pula kemungkinan perempuan di tempat hiburan itu sudah mengidap HIV/AIDS sehingga laki-laki yang sanggama tanpa kondom berisiko tertular HIV. Laki-laki ini dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai suami. Mereka inilah yang menyebarkan HIV di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Keempat, 35 kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada kurun waktu Januari hingga Mei 2012 minimal mereka sudah tertular HIV tiga bulan sebelumnya. Kalau 35 itu terdeteksi HIV sudah di masa AIDS, maka mereka tertular antara 5 dan 15 tahun sebelum tes HIV.
Nah, pertanyaannya: Kapan mulai praktek pelacuran di tempat-tempat hiburan malam itu?
Kasus kumulatif HIV/AIDS di Kab Cirebon dari tahun 2000 sampai 2012 mencapai 596 yang terdiri atas kasus dari luar wilayah 312, dan dalam wilayah 284 kasus. Luar wilayah berartikasus yang terdeteksi pada narapidana.
Menurut Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten Cirebon, Deni Agustin, untuk memutus rantai penularan HIV-AIDS, tidak bisa dilakukan oleh satu instansi saja. "Mata rantai penularan HIV-AIDS di Kabupaten Cirebon, bisa diputus jika ada koordinasi baik dinas kesehatan, dinas pendidikan, dinas tenaga kerja dan sosial, polisi pamong praja, kepolisian, dan Badan Narkotika Kabupaten Cirebon."
Persoalannya adalah: Apakah Pemkab Cirebon mempunyai cara atau langkah yang konkret untuk memutus mata rantai penyebaran HIV?
Sudah past tidak ada karena di semua daerah di Indonesia penanggulangan HIV/AIDS hanya sebatas retorika dengan jargon-jargon moral.
Kalau saja Deni mau melihat program kondom di Thailand yang berhasil menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan pekerja seks, maka hal itu dapat diterapkan pada tempat-tempat hiburan malam yang ada di wilayah Kab Cirebon.
Tentu saja langkah pertama adalah membuat regulasi berupa aturan agar keberadaan tempat-tempat hiburan itu mengikat secara hukum. Germo diberikan izin usaha sebagai pintu masuk untuk menindak germo jika bersalah.
Tapi, semua daerah di Indonesia justru berlomba-lomba menutup lokasi atau lokalisasi pelacuran. Pemerintah-pemerintah daerah itu menepuk dada dengan mengatakan: ”Daerah saya bebas pelacuran!”
Padahal, praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.
Dengan tidak ada lokalisasi, maka laki-laki yang berbaju moral pun tidak takut dikenali kalau melacur karena dilakukan di tempat-tempat yang tidak berbau prostitusi.
Tapi, dampaknya dapat kita lihat ketika ada ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV. Ini bukti bahwa suami mereka melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti praktek pelacuran di tempat-tempat hiburan malam itu atau di tempat lain.
Kalau saja Pemkab Cirebon memakai nalar, maka tempat-tempat hiburan malam itu justru jadi tempat untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru. ***[Syaiful W. Harahap]***