Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

AIDS "Berkecamuk" di Indonesia, Celakanya Ditanggapi dengan Kegaduhan Soal LGBT dan LSL

26 April 2018   15:18 Diperbarui: 26 April 2018   15:19 792
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: curejoy.com)

Kedua, karena dugaan kasus-kasus terkait HIV/AIDS sebelum kasus bule itu terkait dengan heteroseksual, maka kasus bule itu pun dimasyarakatkan jadi 'tonggak' bahwa HIV/AIDS adalah: (a) penyakit bule, (b) penyakit gay, (c) penyakit orang luar negeri, dan (d) penyakit homseksual. Kondisi ini pun kemudian membuat banyak orang tidak menyadari perilaku seksualnya berisiko tertular HIV karena dia tidak terkait dengan kondisi (a), (b), (c) dan (d).

Ketiga, pemerintah di awal epidemi juga menggiring masyarakat pada kesimpulan bahwa HIV/AIDS hanya ada di lokalisasi pelacuran yang melibatkan pekerja seks komersial (PSK). Maka, ketika reformasi bergulir muncullah gerakan nasional membumihanguskan lokalisasi pelacuran. Padahal, di  era Orde Baru pelacuran dilokalisir sebagai upaya untuk rehabilitasi dan resosialisasi PSK dengan berbagai pelatihan.

Selain itu, seperti dikatakan oleh Ketua Yayasan Kerti Praja, Prof Dr dr DN Wirawan, MPH, sebagai upaya memutus mata rantai penyebaran  IMS (infeksi memnular seksual yang lebih dikenal sebagai 'penyakit kelamin'), yaitu kencing nanang (GO), raja singa (sifilis), herpes genitalis, virus hepatitis B, klamidia, jengger ayam, virus kanker serviks, dll.) dan HIV/AIDS ke masyarakat karena laki-laki 'hidung belang' diwajibkan pakai kondom, kesehatan PSK rutin diperiksa dan PSK diadvokasi agar menolak laki-laki yang tidak mau memakai kondom (Baca juga: 'Jemput Bola' ke Lokasi Pelacuran di Denpasar, Bali).

Hanya saja program rehabilitasi dan resosialiasi tidak berjalan efektif karena sifatnya top-down [Baca juga: Menyingkap (Kegagalan) Resosialisasi dan Rehabilitasi Pelacur(an)]. Maka, yang direhabilitasi bukan PSK tapi laki-laki 'hidung belang' agar bertanggungjawab terhadap keluarganya dengan tidak membawa penyakit ke rumah.

Di negara-negara yang secara de jure dan de facto tidak ada lokalisasi pelacuran tetap saja ada kasus HIV/AIDS yang dilaporkan. Seperti Arab Saudi, misalnya, Menteri Kesehatan Arab Saudi melaporkan dari tahun 1984 sampai 2015 tercatat 22.952 kasus HIV/AIDS di Arab Saudi. Dari jumlah tsb. 6.770 adalah warga Arab Saudi (english.alarabiya.net, 1/12-2016).

Keempat, penggiringan opini juga sampai pada mitos bahwa penularan HIV terjadi karena zina. Maka, tidak mengherankan di awal tahun 1990-an ada organisasi mahasiswa keagamaan yang menganjurkan nikah mut'ah antara laki-laki 'hidung belang' dan PSK di pelacuran agar tidak tertular HIV. Tentu saja ini ngawur bin ngaco karena penularan HIV melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (di dalam atau di luar nikah), tapi karena kondisi (saat terjadi) hubungan seksual yaitu salah satu atau kedua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom.

Ketika insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui praktek pelacuran dengan berbagai modus transaksi seks terus terjadi, tapi banyak kalangan mulai dari Dinas-dinas kesehatan (Dinkes), Komisi Penanggulangan AIDS (KPA), LSM, organisasi terkait AIDS dan aktivis AIDS justru mengabaikan kasus penyebaran HIV dengan faktor risiko heteroseksual. Fakta ini mereka abaikan: insiden infeksi HIV baru terus terjadi yang merupakan 'bom waktu' menuju 'ledakan AIDS'. Survei Kemenkes RI menunjukkan akhir tahub 2012 ada 6,7 laki-laki Indonesia yang jadi pelanggan setia PSK. Dari jumlah ini 4,9 juta beristri (antarabali.com, 9/4-2013)

Sumber Data

Bekalangan ini isu sentral yang digulirkan adalah kasus HIV/AIDS pada LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender/Waria) dan LSL (Lelaki Suka Seks Lelaki).

Secara empiris kasus HIV/AIDS pada gay ada di terminal terakhir karena mereka tidak punya istri sehingga tidak ada penyebaran ke masyarakat luas. Kemungkinan terjadi mata rantai hanya pada laki-laki biseksual karena bisa saja mereka mempunyai pasangan gay. Itulah sebabnya laki-laki biseksual jadi masalah besar karena jadi jembatan penyebaran HIV/AIDS (horizontal) dari kalangan LSL ke masyarakat, dalam hal ini istri atau pasangan seks mereka. Selanjutnya kalau istri tertular HIV ada pula risiko penularan (vertikal) ke anak yang mereka kandung kelak.

Laki-laki heteroseksual beristri yang melakukan hubungan seksual dengan gay, biseksual dan waria juga disebut LSL. Maka, tidak mengherankan kalau kemudian disebut-sebut kasus HIV/AIDS paling banyak  pada LSL. Waria pun dimasukkan sebagai LSL.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun