Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Anda Bisa Tiru Cara Keluarga Jepang Ini Lakukan Edukasi Seks

22 Februari 2017   15:40 Diperbarui: 23 Februari 2017   18:28 2469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: uriopenminds.wikispaces.com)

Pada usia remaja, terutama laki-laki, dorongan seksual sedang menggebu-gebu. Nah, banyak pihak yang membalut lidah dengan moral akan menyarakan penyaluran yang ‘positif’, seperti kegiatan di luar sekolah, olahraga, dll. Ini ‘kan naif.

Bayangkan, ketika seorang remaja putra ereksi di tengah malam buta, apakah dia ganti pakaian olahraga lalu lari-lari di depan rumah? Tentu saja secara alamiah nalurinya secara reflek akan melakukan onani. Yang membuat celaka ada di antara mereka yang mencari penyaluran seks dengan cara melakukan hubungan seksual dengan PSK atau waria. Bagi banyak orang dorongan hasrat seksual tidak bisa disalurkan dengan cara-cara di luar seks.

KTD

Sebuah keluarga yang terdiri atas suami Jepang dan istri Jawa menjalankan cara-cara yang biasanya dilakukan masyarakat Jepang dalam mendidikan anak-anak terkait dengan seks. Pada usia SD ayah, ibu dan anak-anak mandi bersama. Ketika mandi itulah dijelaskan nama-nama organ seks dan fungsinya dan kapan dipakai untuk keperluan reproduksi. Informasi ini saya peroleh melalui wawancara dengan si istri di akhir tahun 1980-an di Jakarta.

Diberikan pula sugesti bahwa alat-alat reproduksi tsb. tidak boleh dipegang oleh orang lain karena organ-organ reproduksi itu merupakan milik pribadi yang harus dijaga dengan baik. Bahkan, disebutkan pipi pun harus dijaga agar tidak dicubit dan dicium orang lain.

Tentu saja penjelasan sesuai dengan usia anak-anak tsb. Yang perlu diperhatikan jangan memberikan penjelasan melebih pertanyaan dan kebutuhan anak-anak. Ketika anak laki-laki mereka bercerita bahwa dia merasa sudah ada dorongan seks, maka anak laki-laki itu pun tidak ikut lagi mandi bersama dan ditangani khusus oleh si ayah. Begitu juga anak perempuan dipegang oleh si ibu. Sayang, perempuan Jawa tadi enggan menjelaskan apa yang dilakukan ayah dalam mengatasi dorongan seks putra mereka.

Dalam kaitan penyebaran IMS dan HIV/AIDS perlu dipirkan cara penyaluran seks remaja agar mereka tidak ngeseks dengan PSK atau waria. Soalnya, sekarang ini ada aturan yang menunda usia perkawinan, padahal penyaluran dorongan seksual tidak bisa ditunda-tunda.

Yang lebih repot lagi ada di antara mereka yang menyalurkan dorongan seksual dengan pacar sehingga terjadi kehamilan yang tidak diinginkan (KTD). Jika ini yang terjadi persoalan besar ada pada remaja putri atau perempuan karena mereka yang disalahkan dan dipecat dari sekolah atau pekerjaan. Masyarakat pun hanya menghukum perempuan yang mengalami KTD.

Apakah kita tetap memilih membisu seperti sekarang dengan akibat anak-anak mencari informasi sendiri dan menyalurkan dorongan seksual dengan cara-cara yang berisko tertular IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus dan mengalami KTD?

Atau mencari cara yang elegan dalam memberikan pemahaman seksualitas kepada anak-anak kita agar mereka tidak tergelincir kepada perilaku-perilaku yang berisiko? *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun