Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hati Nurani Wartawan dalam Berita AIDS

13 April 2011   01:29 Diperbarui: 9 Januari 2019   09:36 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: spiderum.com)

Catatan: Tulisan ini adalah makalah pada Two Days Seminar on AIDS, Law and Human Rights, Lembaga Aksi Hidup Sehat (LAHSI) – PB IDI – Departemen Kesehatan, Jakarta 5-6 Desember 2001. Ini bisa sebagai gambaran atau perbandingan dengan berita HIV/AIDS sekarang atau sepuluh tahun kemudian. ***

"Ketika ditanya bagaimana awal mula Amin bisa terjangkit penyakit mematikan itu, ibunya tak mampu menjelaskannya." Ini adalah pernyataan dalam berita "Lagi, Pasien Muda AIDS Terenggut Nyawanya, Dililit Benjolan Sebesar Telur Puyuh" di Harian “Jawa Pos” (Surabaya, 9/4-2001). Pertanyaan ini jelas tidak etis karena dokter pun tidak bisa memastikan sumber infeksi semua penyakit pasiennya. Entah apa manfaatnya bagi wartawan menanyakan hal ini karena sema sekali tidak terkait dengan unsur-unsur layak berita.

Pertanyaan ini sejalan dengan pertanyaan wartawan terhadap pekerja seks yang mudik Lebaran: "Apakah Mbak tidak rindu kepada anaknya?" Menurut Bang Hotman (Prof Dr.Hotman M. Siahaan, sosiolog di Unair. Surabaya) pertanyaan itu tidak manusiawi karena, “Binatang pun rindu kepada anaknya!” Wartawan tadi sudah memakai ukuran moralitas dirinya ketika mewawancarai pekerja seks. Wartawan menempatkan pekerja seks pada suatu posisi yang tidak layak sebagai manusia karena meninggalkan anaknya untuk alasan yang berbalut dosa.

Sebagai negara hukum tentulah setiap tindakan harus dilakukan berdasarkan hukum pula. Maka, anjuran yang menyebutkan agar donor yang darahnya terdeteksi HIV-positif di PMI Malang menyerahkan diri merupakan perbuatan yang yang melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM) karena tidak ada UU yang menyebutkan orang-orang yang tertular HIV sebagai pelanggar hukum atau pelaku kriminalitas sehingga mereka dikategorikan sebagai buronan atau target operasi. Inilah yang muncul dalam dua berita di Harian “Media Indonesia” (1) “Petugas PMI masih Mencari Keberadaannya, 6 Mahasiswa Malang Terkena AIDS” (30/6-2001) dan “Korban HIV/AIDS Sebaiknya Menyerahkan Diri” (2/7-2001).

Tindakan yang dilakukan oleh PMI Malang, Jawa Timur, itu jelas perbuatan yang melawan hukum dan melanggar HAM. Lagi pula PMI, dalam hal ini Unit Transfusi Darah (UTD) PMI, menerapkan unlinked anonymous terhadap donor sehingga yang diskrining darah yang didonorkan bukan donor yang menyumbangkan darah.

Jika PMI Malang mengetahui identitas donor tentulah hal ini sudah merupakan perbuatan yang melawan hukum. Apalagi kalau melacak enam mahasiswa yang disebut-sebut tertular HIV jelas merupakan perbuatan yang melanggar hukum karena tidak ada aturan yang membenarkan pelacakan terhadap orang-orang yang tertular HIV.

Skirining yang dilakukan terhadap darah donor pun bersifat survailans, artinya hasil positif itu hanya untuk keperluan transfusi. Jadi, donor-donor yang darahnya positif tidak bisa otomatis dinyatakan HIV-positif karena tes tersebut belum dikonfirmasi dengan tes lain sesuai dengan standar prosedur operasi yang baku pada tes HIV. Kalau memang PMI bertujuan ingin membantu donor yang positif HIV tentulah ada prosedur yang lebih komprehensif yaitu melalui konseling sebelum mereka menyumbangkan darahnya. Tetapi, perlu diingat kalau mereka menolak mengetahui hasil tes HIV maka tidak ada kekuatan hukum bagi PMI untuk memaksa donor. Kalau ada donor yang darahnya dideteksi HIV-positif tetap mendonorkan darahnya maka PMI tidak memakai darah tersebut. Inilah langkah yang arif. Bukan membeberkan identitas dan melacak-lacak donor.

Dalam publikasi masalah HIV/AIDS sendiri pemerintah hanya menyebutkan umur, jenis kelamin dan faktor risiko penularan. Dalam kaitan ini pun PMI Malang sudah melanggar aturan baku. Apakah karena di era reformasi aparat dan institusi pemerintah boleh seenak udelnya melakukan perbutan yang melawan hukum dan melanggar HAM?

***

“O, banyak, bayi yang tidak berdosa.” Itulah pernyataan artis Nurul Arifin di acara Mitra Perempuan yang disiarkan “MetroTV” (Jakarta, 28/8-2001) tentang kasus HIV/AIDS pada anak-anak. Pernyataan itu rancu dan menyuburkan mitos (anggapan yang salah) seputar HIV/AIDS sehingga menguatkan stigma (cap negatif) terhadap Odha. Masyarakat pun kemudian melihat Odha sebagai pendosa dan mengucilkan mereka. Padahal, tidak ada hubungan atau kaitan langsung antara penularan HIV dengan dosa.

Pernyataan Menko Kesra dan Taskin, ketika itu dijabat Prof Dr Basri Hasanuddin, yang mengatakan “…. wajar bila yang tertular HIV adalah wanita yang tergolong ‘tidak baik’ “ pun dikutip wartawan Harian “Media Indonesia” (6/7-2000). Apa ukuran baik dan tidak baik? Hal ini sangat subjektif karena dari satu sisi pekerja seks sekalipun bisa dikategorikan baik karena mereka sudah memberikan kebahagian bagi orang lain. Di pihak lain tidak sedikit istri yang justru membuat suaminya tidak bisa mengenyam kebahagiaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun