Mohon tunggu...
Indria Salim
Indria Salim Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance Writer

Freelance Writer, Praktisi PR di berbagai organisasi internasional (1990-2011) Twitter: @IndriaSalim IG: @myworkingphotos fb @indriasalim

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pengalamanku Menjadi Guru

26 November 2019   12:06 Diperbarui: 26 November 2019   22:11 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kompasianer Selda dan Sellyn dan Kak Seto | Dokpri

Kisah Ibu
Sebagai KepSek SDN, ibuku juga single parent sejak Bapak wafat. Ibu cerita ke kami biarpun nggak detil, sering kali dia bayarin makan siang guru-guru honorer karena simpati. Guru-guru honorer itu kata Ibuku dedikasi dan kreativitasnya tinggi meskipun status kepegawaiannya masih belum jelas, menunggu pengangkatan sebagai ASN. Itu dulu, jauh sebelum ada sekelompok orang yang menyusupkan paham yang tidak menghormati falsafah dan dasar NKRI yang adalah Pancasila.

Kisah Bapak
Bapak dulu berdua dengan sahabatnya, mendirikan Sekolah Pendidikan Guru Luar Biasa.
Namanya juga dua sahabat, mereka lempar-lemparan pilihan jabatan sebagai Kepala SGPLB itu.
"Bapak saja."
"Oh, Bapak saja," jawab satunya.
Akhirnya mereka sepakat, satu menjabat Kepala, Bapak jadi Wakil Kepala, plus tanggung jawab SLB nya.
Bapak juga mengepalai Sekolah Luar Biasa, yang di situ murid-muridnya adalah anak-anak berkebutuhan khusus.

Sering terjadi, di hari Minggu atau hari libur nasional, sepasang orangtua jauh-jauh datang dari lain provinsi, memohon-mohon agar anak semata wayang  mereka diterima di SLB dan juga boleh tinggal di asrama.

Banyak kisah mengharukan sekaligus lucu. Utusan asrama datang pas Bapak lagi memanjat pohon sawo yang berbuah lebat di halaman. Utusan itu tergopoh-gopoh melaporkan ada satu anak asrama "minggat" dan Kepala Asrama sedang menyusuri jalan dengan motor, kadang mobil, untuk menemukan anak yang hobi minggat itu.
Begitu ditemukan,  si anak perempuan yang minggat itu bilang, "aku kangen Hin Ho (temen sekelasnya)".
Ceritanya, anak perempuan ini lagi naksir Si cowok. Mereka adalah anak-anak SLB/C (tuna mental).

Penelitian dan saran para ahli memang banyak terbukti, bahwa perkawinan antara pasangan dengan hubungan dekat sedarah (sepupuan dari orang tua bersaudara) punya faktor risiko tinggi menurunkan hal "negatif" (genetik). Walau begitu, ini kontekstual ya, karena generalisasi itu bukan maksudku menuliskan ini.

Kisahku
Sebelum lulus S1, aku bekerja sambil kursus bahasa Inggris. Bagiku itu seperti pepatah, "Sambil menyelam minum air."
Di tempat kursus bahasa Inggris, aku bersama beberapa teman dipandang mampu menjadi Asisten Guru kursus  padahal kami belum lulus untuk tingkat tertinggi di lembaga pendidikan non-formal itu.


Singkat kata, begitu lulus tingkat tertinggi di situ, kami direkrut sebagai Guru Junior. Cukup sibuk! Apalagi karena pertemanan, aku sesekali diminta mengajar di Bimbel untuk menggantikan pengajar yang mendadak berhalangan datang.

Syukurlah, sejauh itu semua senang dengan cara mengajarku. Eh ini istilahnya pengajar, ya. Tidak semua guru adalah pendidik, dan aku dan Anda pasti paham maknanya.

Di tempat kerja, Manajer HRD mengetahui aku mengajar di Lembaga Kursus. Dia memintaku mengajar karyawan yang perlu ditingkatkan kemampuan bahasa Inggrisnya terkait pekerjaan fungsional masing-masing. Entah segan dengan Pak Manajer atau tertantang, aku bersedia. Jadilah semua "mengGurukan aku'. Ada sikap respek yang tak bisa diukur dengan materi. Aku merasakan ikatan semangat kebersamaan dalam keinginan untuk mencapai kemajuan bersama.

Bekerja di kantor resmi selepas program Magisterku, aku sempatkan mengajar di dua kampus, keduanya berbeda lembaga pun lokasinya yang seperti dari Kutub Selatan ke Kutub Utara, dan mata kuliahnya juga berbeda. Lantas banyak duit dong punya kerja sampingan? Nomboklah! Dulu belum ada ojol atau TransJ. Gaji kantoran kupakai buat menutup biaya mengajar, dari membeli buku-buku buat menambah bobot materi pengajaran, sampai ongkos taksi yang memang pilihan keputusan. Aku naik taksi demi mengejar jadwal mengajar.

Mendidik atau Mengajar?
Itu kulakukan dengan cara di luar silabus. Silabus pun, juga bikinanku sendiri yang tentunya dengan tetap mematuhi ketentuan target akademis dan kebijakan Kampus. Sesungguhnya ini bukan hal yang mudah, menggabungkan idealisme kualitas belajar-mengajar dengan target kurikulum dengan jadwal ketat yang tidak bisa ditawar-tawar, misalnya jadwal mid-test, ujian semesteran, atau pemberian tugas dan pembahasan sesudahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun