Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Tantowi Yahya di Negeri the Lord of the Rings

7 April 2021   00:31 Diperbarui: 7 April 2021   00:42 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Saya ajukan pertanyaan sulit itu kepada Tantowi, pada tanggal 9 Maret 2021 kemaren. Saya bilang, tulisan akan muncul keesokan harinya. Dan butuh sepuluh hari mengerjakan tulisan kedua saya ini di tahun 2021. Bukan apa-apa, saya sedang sibuk dengan sesuatu yang memang dasar keahlian saya, seorang perekayasa. Tak menyukai bahasa, namun telanjur juara di bidang matematika, akrab dengan fisika dan kimia, serta keseharian di bidang biologi sebagai anak kampung.

Saya masih ingat, betapa sering kena omelan, ajaran, dari Mbak Clara Jowono atau Ibu Asnani Usman.

"Seorang scholar, tidak berbicara seperti kamu!" begitu, kira-kira. Dan politik keseharian, makin ke sini, membuat cara bertutur saya semakin manis.

Tak ada orang yang mampu membuat saya kembali kepada kekasaran sikap seorang aktor, selain tentu para seniman di ranah politik. Tantowi, ada di ranah itu.

Saya tanyakan, kenapa di Indonesia sulit bikin film kolosal? Takut kaya seperti produser LOtR, Peter Jackson? Ada ribuan pulau. Ada ratusan gunung. Lembah. Danau. Kenapa sulit hadirkan outlet untuk para sineas bermain di sini?

Jawaban Tantowi berbau ekonomis. Orientasi produser dan pemodal film Indonesia masih ke pasar lokal. Sementara, pangsa pasar dilihat dari selera kebanyakan penonton film Indonesia yang lebih menyukai cerita komedi dan kehidupan sehari-hari. Biaya murah. Dari sisi teknik, tuntutan film kolosal tinggi, terutama di teknologi. Film kolosal yang menggunakan teknologi sederhana sudah pasti pasti akan bersaing lagi dengan film impor.

Saya belum puas. Terus mendesak Tantowi kepada kehidupan hutan rimba.

"Apakah Bro menangkap ada semacam rasa hormat manusia kepada alam di NZ, sebaliknya di sini? Jadi sikap egaliter itu berarti luas: pun terhadap alam raya? Bro seorang baladawan!" tulis saya dalam chat.

Tantowi mengetik betapa Indonesia punya banyak cerita legenda dari berbagai daerah, maupun cerita kerajaan-kerajaan besar kita jaman dulu. Dari sisi cerita, kita kaya sekali, katanya meyakinkan saya. Yang kita butuhkan produser atau pemodal yang berani bikin film kolosal seperti produksi NZ, Cina, Jepang dan Korea.

Saya tidak tahu, siapa yang pernah membaca buku begitu banyak, termasuk legenda apapun tentang Indonesia. Sejak kecil, saya selalu habiskan uang untuk mengejar seluruh buku cerita terkait itu. Bahkan, sampai mengejar jenis-jenis hantu dan siluman yang hidup di Indonesia. Saya kolektor lengkap seluruh buku Kary May, contoh saja.

"Di Bali, ada Gunung Batur. Ada banyak legenda. Pun seniman. Tanpa bermaksud untuk mengoreksi, menurut Bro, apakah  yang diperlukan adalah deepening (pendalaman) medan wisata - seni - alam -- budaya.  Atau betul-betul menemukan pulau-pulau dewa yang baru? Apa arti wisata bagi warga NZ?" tulis saya, seakan tak bersalah. Tanpa bertanya, Tantowi entah di mana, sedang apa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun