Sebagai Ketua Balitbang DPP Partai Golkar, saya pernah menyampaikan satu usulan perubahan mekanisme pemilihan dalam setiap jenjang organisasi. Perubahan itu tidak lagi berdasarkan pada aspek kewilayahan administratif, tetapi bisa menempuh dua cara.
Pertama, yakni penerapan sistem membership. Cabang-cabang yang memiliki anggota aktif yang terverifikasi lebih banyak, mendapatkan suara yang juga lebih banyak dibandingkan dengan cabang-cabang yang sedikit anggotanya dalam proses pengambilan politik partai secara berjenjang. Jumlah suara yang diperoleh masing-masing cabang partai tidak lagi berdasarkan jumlah provindi, kabupaten atau kota dengan masing-masing satu suara untuk Munas, misalnya.Â
Cara yang ditempuh selama ini sama sekali tidak kompetitif dan dinamis, bahkan dibandingkan dengan persaingan internal pengurus partai di China. Komite-komite partai di China yang berada di salah satu induk perusahaan publik, bisa jadi memiliki jumlah suara yang lebih banyak dibandingkan dengan komite partai yang berada di satu wilayah administratif. Partai Komunis Chinapun menerapkan sistem keanggotaan aktif yang berkorelasi dengan fasilitas yang bisa dinikmati oleh para pengurus partai. Sistem yang lebih bernuansa liberal, ketimbang sosialis.
Kedua, berdasarkan jumlah kursi yang diperebutkan dalam satu wilayah administratif. Bagi saya masih tetap tidak logis, ketika Dewan Pimpinan Daerah Provinsi Jawa Barat memiliki hak suara yang sama untuk digunakan dalam mengesyahkan keputusan-keputusan partai di level puncak -- tidak semata Ketua Umum --, jika dibandingkan dengan DPD Maluku Utara. Jumlah pemilih dan jumlah kursi di Jawa Barat tentu jauh berkali-kali lipat dibandingkan dengan Bangka Belitung, misalnya. Tinggal dihitung saja, berapa jumlah kursi legislatif nasional yang diperebutkan di masing-masing provinsi, sebanyak itu pula kertas suara yang masuk ke kotak suara dalam pemilihan pimpinan partai, misalnya.
Di samping itu, terdapat juga cara lain yang bersifat lebih progresif. Yakni lewat mekanisme pembobotan angka akumulatif satu periode berdasarkan capaian prestasi cabang partai. Misalnya, apabila di daerah itu mampu menyumbangkan kursi legislatif, mampu memenangkan pemilihan langsung kepala daerah, mampu menambahkan jumlah suara signifikan dalam pemilihan presiden dan wakil presiden, tidak memiliki cacat yuridis terkait dengan kader-kader partai yang dikandangkan oleh aparat hukum, sudah pasti jumlah suara akumulatif yang didapatkan jauh lebih banyak dibandingkan dengan daerah lain yang serba tak mampu.
Terakhir, memberikan hak suara kepada kader-kader yang memiliki prestasi, senior partai, kelompok pemilih pemula, bahkan pemilih independen. Cara ini akan memberikan buah beringin yang tersebar di seluruh dahan dan ranting, bisa dimaksimalkan bagi gerak organisasi secara keseluruhan. Keringat dan kerja keras setiap kader, bakal terus dihitung, guna mendapatkan hak memilih atau hak bersuara dalqm kegiatan puncak organisasi.
Apabila perdebatan konseptual, kalkulatif dan rasional seperti ini yang hadir menjelang Musyawarah Nasional Partai Golkar, saya menduga seluruh energi positif bakal terserap, energi negatif terbuang, lalu Partai Golkar memberikan oksigen yang segar kepada kehidupan. Sayangnya, saya hanya bisa menggugat lewat tulisan.
Jakarta, 4 Juli 2019