Apabila ditarik tiga tahun ke belakang sejak pergantian presiden pada 2014, kenaikan di masing-masing jenjang tidak signifikan, yaitu SD 98,92%, SMP 94,44%, SMA/K 70.31%, dan perguruan tinggi 22.82%.
Bisa kita simpulkan anggaran Rp500 triliun tiap tahun ternyata belum membuka akses pendidikan yang lebar bagi masyarakat Indonesia. Masih terlampau banyak anak-anak Indonesia yang tidak bersekolah.
Kenapa demikian, padahal sudah ada Kartu Indonesia Pintar (KIP), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Pembangunan Unit Sekolah Baru (USB), dan program-program lain. Semuanya karena program-program tersebut salah sasaran dan hingga saat ini belum ada evaluasinya.
Sekolah tanpa pungutan diperkenalkan sejak 13 tahun atau pada 2005. Namun, ternyata yang menikmati sekolah-sekolah gratis tersebut justru didominasi anak-anak dari golongan ekonomi menengah ke atas. Masyarakat menengah ke bawah justru harus bersekolah di sekolah berbayar (swasta) karena tidak diterima di negeri.
Beberapa kali saya mengkritik kebijakan kuota siswa miskin di sekolah negeri. Harusnya di balik kebijakannya, yakni kuota siswa kaya. Masyarakat miskin (pemegang KIP/KJP) tidak boleh ditolak di sekolah negeri.
Kalau pemerintah mau mengeluarkan kebijakan siswa miskin tidak boleh ditolak di sekolah negeri, saya yakin lonjakan APS akan signifikan.
Kedua, masalah guru. Berdasarkan data di laman Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendikbud, rasio guru dan siswa Indonesia saat ini berada di level 1:16 (1 guru per 16 siswa) di mana jumlah ini di atas negara-negara maju seperti Singapura, Amerika Serikat, China, dan Inggris.
Selain itu, berdasarkan data Bank Dunia, anggaran pendidikan Indonesia mengalokasikan 64% dari total anggaran untuk guru. Banyak guru yang memiliki penghasilan puluhan juta rupiah per bulan saat ini.
Problematikanya adalah distribusi, baik personel gurunya maupun penghasilannya karena banyak guru, khususnya honorer yang digaji hanya ratusan ribu rupiah per bulan.
Kualitas para pendidik kita juga jelas harus ditingkatkan karena melihat hasil Uji Kompetensi Guru menunjukkan kondisi yang memprihatinkan. Urusan peningkatan kualitas guru, jumlah guru, dan distribusi guru ini juga imbas dari tupoksi yang kurang jelas antara pemerintah pusat dan daerah. Ini butuh sinkronisasi dan kerja sama.
Ketiga, masalah anggaran. Masih ingat saat data tunjangan profesi guru salah hitung sebesar Rp23,3 triliun pada 2016? Yang belum muncul ke publik adalah data gaji guru dari Dana Alokasi Khusus (DAU) yang kabarnya hampir Rp30 triliun.