Mohon tunggu...
Politik

Mendebat Hegemoni Paman Sam

4 Maret 2016   16:03 Diperbarui: 8 Maret 2016   16:41 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ketika mendengar kata ‘hegemoni’ atau ‘dominasi’ dalam Hubungan Internasional, aktor yang langsung terlintas di benak penulis ialah Amerika Serikat. Mulai dari kehidupan foya-foyanya—yang dikenal juga sebagai The American Dreams yang dijual oleh film Hollywood, sehingga menimbulkan tanda tanya di pikiran orang-orang bahwa benarkah kehidupan di sana sama seperti apa yang pernah mereka tonton. The American Dreams membuat banyak orang bermimpi untuk tinggal di negeri Paman Sam. Dari sisi ekonomi, kita dapat melihat mata uangnya yang dijadikan sebagai acuan nilai mata uang negara lainnya. Hegemoni Amerika Serikat juga terlihat dari pada tahun 1944 Bretton-Wood System diresmikan sebagai sistem moneter dan financial internasional, walaupun pada kepemimpinan Richard Nixon sistem ini runtuh.  (McElvaine, 2008)

Tetapi, apakah Paman Sam benar-benar hegemon? Di mana dan bagaimana kah posisi Paman Sam sebenarnya?

Pada Oktober 2013, Presiden Tiongkok dan Perdana Menterinya—Xi Jinping dan Li Keqiang mengumumkan untuk menginisiasi the Asian Infrastructure Investment Bank. Mereka menyebutkan bahwa bank ini akan mempromosikan interkonektivitas dan integrasi ekonomi di kawasan Asia, dan akan bekerja sama dengan bank-bank pembangunan multilateral yang ada. Berbeda dengan ADB dan World Bank yang didominasi oleh Amerika Serikat dan Jepang serta berfokus pada proteksi lingkungan dan kesetaraan gender, AIIB sebagai lembaga dengan basis pengetahuan modern akan berfokus pada pembangunan infrastruktur dan sektor produktif lainnya di Asia, seperti energi dan listrik, komunikasi, transportasi, infrastruktur pedesaan dan pengembangan pertanian, pasokan air dan sanitasi, perlindungan lingkungan, serta pembangunan perkotaan. (the Asian Infrastructure Investment Bank , n.d.)

Diinisiasi oleh musuh utamanya, Tiongkok, Amerika Serikat boleh merasa terancam. AIIB dapat dianggap rival dari the Asian Development Bank (ADB) yang merupakan institusi keuangan internasional yang didominasi oleh AS dan Jepang.  (Chua & Kajimoto, 2015) Ditambah lagi Inggris merupakan negara Eropa pertama dan negara aliansi AS pertama yang menyatakan diri untuk bersedia bergabung dengan AIIB sebagai prospective founding members (PFM). Bergabungnya Inggris menjadi pemicu aliansi AS lainnya untuk bergabung dengan AIIB sebagai PFM. Dalam harian Financial Times disebutkan bahwa sehari setelah Inggris menyatakan ikut bergabung sebagai PFM dalam AIIB, oknum anonym dari Gedung Putih dikabarkan ‘menyerang pemerintah Inggris dengan bentuk peringatan, namun Inggris tidak menggubrisnya.(Bird, 2015). Aliansi kuat AS lainnya, seperti Prancis, Jerman, Korea Selatan, dan Australia sudah menyatakan diri untuk bergabung, bahkan sudah dinyatakan sebagai Prospective Founding Members (PFM) dari Asian Infrastructure Investment Bank. (the Asian Infrastructure Investment Bank , n.d.).

Usaha AS dalam menggagalkan salah satu aliansinya, Australia, untuk bergabung dalam AIIB tidak dapat dikatakan main-main. AS dikabarkan melakukan pendekatan yang a lot kepada Australia, dengan cara melakukan lobi kepada Menteri Luar Negeri Australia, Jolie Bishop. Lobi tersebut dilakukan oleh John Kerry sebagai Sekretaris Negara AS. Tak hanya itu, Presiden Obama yang melakukan lobi melalui telepon kepada Tony Abbott sebagai Perdana Menteri Australia.  (Chapman, n.d.)

Mengapa pengaruh Paman Sam berkurang?

Menurut Peter J. Anderson, permainan politik internasional dapat digambarkan dalam The Change Map yang meliputi kompetisi dalam politik global. The Change Map mengilustrasikan bagaimana persepsi dari berbagai pemain dalam mencapai tujuan spesifik yang bisa saja membutuhkan, menyebabkan, atau menghindari perubahan di tingkat global dan/atau regional. Dalam The Change Map, juga terdapat konsep kekuasaan dan pengaruh, bagaimana aktor atau pemain dalam mencapai tujuannya. Konsep lainnya, yaitu pengaruh, dapat didefinisikan sebagai kemampuan dalam membuat aktor lainnya melakukan suatu hal yang kita inginkan. Dapat dilihat bahwa kekuasaan dan pengaruh merupakan konsep yang tak dapat dipisahkan, karena kekuasaan dapat pula terlihat dari seberapa pengaruh kebijakannya pada negara lain, atau bahkan keadaan global. (Anderson, 1996). Kekuasaan dan pengaruh juga memiliki benang merah dengan kata ‘dominasi’ maupun konsep ‘hegemon’.

Kata ‘hegemon’ sendiri dikenalkan oleh seorang Marxist yang berasal dari Italia, Antonio Gramsci. Gramsci mengenalkan konsep hegemon berdasarkan pemikiran Marxist yang berfokus pada kesenjangan sosial-ekonomi di suatu negara. Namun, penulis mengambil konsep hegemon ini untuk dihubungkan dengan relasi antarnegara dalam permainan politik internasional. Gramsci menganggap bahwa kelompok yang dominan mempertahankan posisi mereka melalui paksaan (coercion) dan persetujuan (consent).  (Ruggero, n.d.). Persetujuan dibuat dan diciptakan oleh hegemoni kelas penguasa dalam masyarakat. Hal tersebut merupakan hegemoni yang memungkinkan nilai-nilai moral, politik, dan budaya dari kelompok dominan untuk menjadi tersebar luas.  (Hobden & Jones, 2011). Menurut Gramsci, terdapat dua metode dalam melawan hegemon, yaitu melalui ‘war of maneuver’ dan ‘war of position’. ‘War of position’ merupakan perlawanan terhadap dominasi budaya, dibandingkan dengan kekuatan fisik. Sedangkan ‘war of maneuver’, berarti perlawanan terhadap koersi fisik yang diberikan oleh negara kepada rakyatnya.  (Ruggero, n.d.) Amerika Serikat sangat mengusahakan agar nilai yang dianutnya, demokrasi, kebebasan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia agar menyebar di seluruh penjuru dunia. ‘War of position’ dapat dilihat dari adanya democratic peace theory yang percaya bahwa negara-negara yang menganut demokrasi tidak akan berperang melawan satu sama lain, merupakan salah satu usahanya dalam menyebarkan nilai-nilai tersebut.  

Robert Cox menganalisa konsep hegemon tersebut pada relasi antarnegara, dengan negara Amerika Serikat dan Inggris sebagai contoh kasusnya. Ia menganggap bahwa indikasi sejauh mana kekuatan dan kekuasaannya dapat diukur dari sejauh mana negara berhasil memproduksi dan mereproduksi hegemoninya. Amerika Serikat telah berhasil mendapatkan penerimaan di seluruh negara mengenai keberhasilan neoliberalisme, dan menurut Robert Cox, Amerika Serikat telah menjadi dominan hegemon.  (Hobden & Jones, 2011)

Di era multipolar ini, muncul banyak negara yang memiliki stabilitas ekonomi dan politik yang baik sebagai polar-polar baru. Amerika Serikat harus menerima kenyataan bahwa di era ini, banyak juga negara lain yang menyaingi powerfulnya AS. AS harus menerima kenyataan bahwa ia sudah bukan merupakan satu-satunya polar yang menang, sudah bukan satu-satunya negara hegemon yang dapat ditunduki oleh negara lainnya. Amerika Serikat mengalami jatuh dan bangun dalam menjadi salah satu negara yang hegemon. Dominasi Amerika Serikat terlihat pasca Great Depression yang menjadi salah satu faktor meletusnya Perang Dunia II, ketika Bretton-Woods System disepakati sistem moneter dan finansial internasional. Pada masa kepemimpinan Richard Nixon, sistem tersebut runtuh akan tetapi, sampai sebelum adanya reformasi International Monetary Fund (IMF), AS merupakan suara terbesar penentu kebijakan lembaga tersebut. Setelah G-20 menyetujui reformasi IMF pada tahun 2010, lembaga ini sepakat untuk memberikan porsi suara lebih besar kepada negara berkembang untuk mengawasi keuangan internasional.  (Won, 2010) Dominasi AS juga Perang Dingin yang diakhiri dengan jatuhnya perekonomian Rusia, membuat AS memenangkan perang ideologi tersebut. Keadaan tersebut membuat AS menjadi unipolar saat itu.

Sebelum menyimpulkan hegemon atau tidaknya suatu negara, kita harus dapat melihat seberapa besar kekuasaan negara tersebut diukur dari seberapa besar kebijakan negaranya dalam mempengaruhi kebijakan negara lainnya. Hal tersebut harus memiliki dampak yang sangat signifikan, atau terjadi berulang sehingga signifikan. Amerika Serikat pernah menjadi negara dominan yang hegemon, tapi AS tak selalu menjadi hegemon yang unipolar. Zaman multipolar ini, banyak negara yang dianggap dapat menyaingi AS, seperti Tiongkok. Tiongkok telah berani menginisiasi AIIB, dan negara lain di dunia melihat prospek yang bagus dalam perkembangan infrastruktur Asia serta memperlebar sayap pengaruhnya di Asia melalui bergabung dengan bank pembangunan regional tersebut.  Hal tersebut lah yang membuat negara aliansi kuat AS yang telah diwanti-wanti olehnya untuk tak bergabung dengan AIIB, tidak menggubris AS. Tidak digubrisnya AS oleh aliansi kuatnya juga membuat dominasi AS terlihat melemah, karena pengaruhnya yang juga terlihat melemah. Jadi, dapat disimpulkan bahwa AS akan terlihat hegemon dan dominan apabila tidak ada yang berusaha menyainginya (multipolar), dan hal tersebut seperti mustahil pada masa ini karena that is not the way how The Change Map works.

 

Written by: Naura Nabila Haryanto

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun