Mohon tunggu...
indah sari
indah sari Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya adalah seorang mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

UKT Mahal dan Mimpi yang Terkubur: Pendidikan Kini Hanya untuk yang Kaya?

14 Juni 2025   16:58 Diperbarui: 14 Juni 2025   16:58 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pendidikan seringkali disebut sebagai jalan untuk mengubah nasib dan masa depan seseorang. Namun, di Indonesia, biaya pendidikan masih tergolong mahal, terutama bagi keluarga yang memiliki penghasilan pas-pasan. Memang masih ada sekolah yang biayanya terjangkau, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa banyak juga sekolah dengan biaya tinggi. Mulai dari buku, seragam, biaya masuk, uang gedung, hingga transportasi. Akibatnya, banyak keluarga yang tidak sanggup menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi. Tak sedikit pula anak-anak yang terpaksa mengurungkan niat kuliah dan memilih untuk bekerja karena merasa orang tuanya tidak sanggup membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang terlalu besar. Bahkan, ada sekolah yang tidak mengizinkan siswa ikut ujian jika belum melunasi biaya pendidikannya. Karena itu, pendidikan sering kali menjadi pilihan yang harus dikorbankan.

Keluhan Mahasiswa Baru soal UKT

Saat ini, masa penerimaan mahasiswa baru sedang berlangsung di berbagai perguruan tinggi. Di tengah proses tersebut, banyak calon mahasiswa yang mengeluhkan tingginya Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang harus dibayar. Padahal, gaji orang tua mereka tidak seberapa, dan masalah ekonomi keluarga kembali menjadi kendala utama. Sistem penentuan UKT yang katanya didasarkan pada penghasilan orang tua, ternyata sering kali tidak sesuai dengan kenyataannya. Ada keluarga dengan penghasilan di bawah satu juta rupiah per bulan, namun justru mendapat UKT tinggi. Sebaliknya, ada juga keluarga dengan penghasilan besar yang justru mendapat UKT rendah. Hal ini menimbulkan pertanyaan: benarkah UKT ditentukan berdasarkan kemampuan ekonomi?

Akibatnya, banyak calon mahasiswa harus mengubur mimpinya untuk kuliah dan memilih bekerja karena kondisi keuangan keluarga. Mereka merasa tidak punya pilihan selain mundur, bahkan sebelum perkuliahan dimulai. Kondisi ini menunjukkan kenyataan pahit, dimana terlihat bahwa pendidikan semakin dikuasai oleh mereka yang punya uang.

Tren TikTok dan Realita Pedidikan

Selain itu, ada pula tren pada aplikasi TikTok yang akhir-akhir ini viral dengan lagu "The Winner Takes It All." Dalam tren ini, banyak orang membagikan kisah sedih mereka, mulai dari yang sudah lolos tes masuk perguruan tinggi, namun terpaksa mundur karena kondisi ekonomi, hingga yang memilih berhenti mengejar kuliah demi membantu ekonomi keluarga. Ada juga orang tua yang menyuruh anaknya untuk langsung bekerja, bukan karena tidak peduli pendidikan, tetapi karena kebutuhan hidup yang lebih mendesak. Akhirnya, cita-cita dan minat anak harus dikorbankan. Di sisi lain, mereka yang punya uang justru berada di posisi lebih kuat. Mereka bisa ikut bimbingan belajar mahal dan mampu membayar seluruh kebutuhan pendidikan. Sementara itu, siswa pintar dari keluarga kurang mampu sering tertinggal, bukan karena kurang usaha, tapi karena keterbatasan ekonomi yang terus menghambat langkah mereka.

Kondisi seperti ini menciptakan kesenjangan yang semakin lebar antara si kaya dan si miskin. Pendidikan yang seharusnya menjadi alat untuk memperbaiki nasib justru semakin sulit dijangkau oleh mereka yang benar-benar membutuhkan. Anak-anak dari keluarga miskin menjadi sulit untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Akibatnya, mereka juga kesulitan mendapatkan pekerjaan yang layak, dan akhirnya hidup dalam lingkaran ekonomi keluarga yang sama. Tanpa pendidikan yang cukup, generasi muda akan kesulitan keluar dari rantai kemiskinan. Jika situasi ini terus terjadi, maka kemiskinan akan terus berlangsung dari satu generasi ke generasi berikutnya, dan rantai itu akan semakin sulit diputus.

Bantuan Pendidikan dan Harapan Perbaikan Sistem

Pemerintah sebenarnya sudah memiliki beberapa program bantuan pendidikan untuk membantu keluarga yang kurang mampu, seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Namun, dalam praktiknya, bantuan ini belum sepenuhnya merata dan belum benar-benar menjangkau mereka yang paling membutuhkan. Tidak jarang bantuan seperti ini justru salah sasaran, yang di mana diberikan kepada orang-orang yang sebenarnya mampu secara finansial. Bahkan ada pula yang kondisi ekonominya sudah membaik, tetapi tetap mempertahankan bantuan KIP, padahal seharusnya bantuan itu dialihkan kepada yang lebih membutuhkan. Akibatnya, siswa dari keluarga tidak mampu menjadi semakin sulit mengejar pendidikan, terutama ke jenjang perguruan tinggi.

Maka dari itu, pemerintah perlu turun tangan untuk memperbaiki sistem UKT agar benar-benar adil, yaitu berdasarkan penghasilan keluarga, bukan disamaratakan. Selain itu, bantuan pendidikan harus benar-benar tepat sasaran, diberikan kepada keluarga yang benar-benar tidak mampu. Proses seleksi juga perlu diawasi dengan ketat agar tidak ada manipulasi data oleh pihak yang tidak berhak. Pendidikan seharusnya bisa dijangkau oleh semua orang secara setara, bukan menjadi ajang siapa yang mampu membayar paling mahal. Jika hal ini terus terjadi, maka masa depan Indonesia akan kehilangan banyak potensi anak-anak cerdas karena terhalang masalah ekonomi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun