"Apaan sih? Ndak seru, Mama. Lagipula nanti kalau aku kepingin menu bukanya temenku, gimana? Trus aku cuma makan tempe goreng misalnya. Ih, sedihnyaa. Trus, mau syutingnya di mana? Belum lagi kalau adik-adik gangguin. Trus, temenku kan ada yang nggak punya wifi, kuota internetnya terbatas. Pasti dia dimarahi ibunya kalau zoom-zoom begitu. Ih, nggak mau, ah!"
Nina pergi lagi sambil bersungut-sungut. Ya, Allah berikan padaku kesabaran. Memang ya, punya anak ABG sering bikin tegangan tinggi tapi harus stel kendor, gimana, tuh. Mana lagi puasa.
Aku kembali menonton laman you tube. Kali ini yang kutonton bukber virtual ala warga sebuah kompleks perumahan. Warga kompleks tersebut mengangkut meja, kursi dan makanan di depan rumah masing-masing. Lalu makan di depan rumah, di tepi jalan kompleks. Jadi kira-kira antar meja di rumah yang satu dengan yang lain berjarak sekitar lima-enam langkah. Hmm, agak merepotkan juga, ya?
Fenomena bukber virtual, walau tampaknya cukup merepotkan buatku dan buat Nina juga (buktinya dia tadi mengemukakan berbagai alasan supaya aku tidak memaksanya bukber virtual), namun bagi sebagian orang merupakan solusi sebuah kegiatan silaturahmi di tengah pandemi. Apalagi bagi mereka yang memang pada kondisi normal dulu suka mengadakan acara bukber di bulan ramadan.
"Kemarin-kemarin waktu awal pandemi, sudah marak reuni virtual, sekarang ada lagi bukber virtual. Nanti apa lagi, ya?" gumamku.
"Kalau cuma mau ngobrol dan lihat-lihatan, sebenarnya kan cukup video call atau zoom pada waktu apapun. Tidak perlu pakai bukber juga. Nanti kalau remah-remah makanan jatuh di atas laptop, bagaimana?" timbrung paksu yang tiba-tiba nongol mengintip laptopku.
"Kalau papa diundang untuk ikut acara bukber virtual, papa mau ikut, nggak?"
"Nggak."
"Lah, kenapa?"
"Kalau dipaksa ya aku ikut, tapi camera off."
"Yaelah, apanya yang mau dilihat, dong?" celetukku ngakak.