"Berapa orang temanmu yang ikut bukber? Orangtuanya Bunga mengundang banyak orang, atau memang ini ide kalian-kalian saja mau bukber?"
"Kami-kami aja, Ma ... palingan bertujuh."
"Perempuan semua, kan?"
"Yaelah mama ... iyaaa, perempuan semuaaa!"
"Ingat jangan terlalu berkerumun. Pakai masker selalu. Jangan lupa bawa handsanitizer. Bawa mukena dan sajadah sendiri. Bla bla bla..."
Nina hanya meng-iya-iya-iya-kan kata-kataku sambil terus menunduk ke hapenya dan chat ke temannya. Duh, anak-anak zaman sekarang, telah dilenakan piranti zaman. Gadget nan agung selalu nomor satu.
Nina pergi meninggalkanku untuk menerima telepon dari temannya, sementara aku lalu membuka laptop dan mulai mencari referensi tentang "bukber virtual". Di laman you tube, aku menemukan sekelompok anak muda sedang melakukan bukber virtual. Mereka masing-masing menyalakan laptop, menata hidangan berbuka puasa di depan laptop masing-masing, lalu makan sambil berbincang dan tertawa-tawa melalui aplikasi zoom.Â
"Ninaaaa!" teriakku membahana.
Nina yang sudah selesai menelepon segera mendekat lagi, masih dengan hape setianya dalam genggaman.
"Apa, Ma?"
"Nih, coba lihat. Mama ada solusi menarik untuk acara bukbermu. Kamu nggak perlu datang ke rumah teman kamu si Bunga itu. Kamu cukup melakukan bukber virtual. Kayak gini nih ... seru, lho!" kutunjukkan laman you tube yang sedang kutonton. Nina menonton dengan serius, tak lama alisnya berkerut.