Mohon tunggu...
Indah budiarti
Indah budiarti Mohon Tunggu... Guru - https://www.kompasiana.com/indahbudiarti4992

Guru biasa dalam kesederhanaan. Berani mencoba selagi ada kesempatan. Menulis untuk keabadian.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Belajar Jurnalistik Sejak Kecil

7 Mei 2023   07:28 Diperbarui: 7 Mei 2023   07:32 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Koleksi Pribadi, (kelas jurnalistik SD Xaverius 2 Kota Jambi) 

     Kemampuan berliterasi terutama membaca dan menulis masyarakat kita digaung-gaungkan berada di peringkat bawah dunia. Sungguh memprihatinkan, namun bukan berarti kita hanya diam menunggu. Indonesia mulai bergerak, dunia pendidikan tak tinggal diam karena pada punggung mereka lah tugas ini dipercayakan. Perlahan para praktisi pendidikan saling bertukar ide, para pendidik saling berbagi hal baik, praktik baik. Tidak menutup kemungkinan elemen-elemen masyarakat turut serta meramaikan semangat menggunakan mode cakap berliterasi. 

     Namun, apakah ini akan menjadi tren sesaat? Bagaimana jika kita bosan mengerakkan mode cakap berliterasi ini hanya karena stuck, kehabisan  akal atau tuntutan akan variasi mode meningkat? Lalu kita sebagai garda terdepan bidang pendidikan selalu kebingungan mencari kreator, nara sumber, atau pelatih handal yang setiap waktu mendampingi. 

      Kali ini saya mencoba berbagi pengalaman-pengalaman yang barangkali bukan sesuatu yang baru bagi pembaca artikel ini, tapi di kolom inilah saya akan terus berliterasi. Karena bagi saya mengajak generasi muda cakap berliterasi harus being literate dari diri sendiri. 

       Ya, being literate? Contoh kecil dari menjadi literat adalah selalu berpikir ketika mendapatkan sebuah masalah. Tidak langsung panik. Contoh lainnya yang sering terjadi pada masyarakat adalah mudahnya percaya pada hoaks ketika bermedia sosial. Yang lebih parah adalah tindakan pelanggaran hak cipta. Hal-hal kecil akan mengarah ke hal besar jika dibiarkan. 

       Akhirnya saya pribadi mulai sadar jika kita ingin mengajarkan murid untuk pandai dan cakap berliterasi, diawali oleh mindset kita sebagai pendidik. Selain mindset atau pola pikir, selanjutnya adalah pada jiat serta keikhlasan. Bagaimana kita bisa mengajar serta berkoar-koar "berliterasi" kalau kita sendiri ogah-ogahan untuk membaca dan menulis. Karena dari dua hal tersebut pikiran kita diolah dan berproses menuju capaian kesuksesan. 

        Tidak lupa saya juga akan mengangkat satu hambatan yang sering dilakukan oleh kita semua (mungkin dalam hal tertentu ini tidak masalah) yaitu sistem salin tempel atau istilah asingnya copy paste/copas. Salin tempel ide orang lain lalu disahkan menjadi ide sendiri adalah sebuah dosa besar berliterasi. Lalu bagaimana kita memulai ini semua? 

     Saya selalu memulai dari hal-hal kecil, terutama saat menggunakan media sosial. Menulis komentar pada sebuah postingan, harus berpikir lebih dari lima kali. Mengunggah postingan pun harus dipikirkan lebih dari tujuh kali. Untuk ini kita harus mengesampingkan ego pamer. Ego pamer ini yang justru banyak memakan korban media sosial. Korban waktu, perasaan dan akhirnya merusak hubungan. 

     Berangkat dari pengalaman ini semua, saya mencoba memberikan sebuah ruang bagi generasi muda khususnya anak-anak didik saya untuk belajar berpikir kritis sejak dini. Melalui kegiatan jurnalistik, dengan cara  sederhana saya dan beberapa teman guru berkumpul dalam suatu waktu, berkegiatan dalam kelas jurnalistik di sekolah dasar Xaverius 2 Kota Jambi.

Tentu saja kami belum menjejali otak mereka dengan  beragam ilmu-ilmu jurnalistik. Tetapi kami cenderung mengarahkan mereka untuk berpikir merangkai kata demi kata, mengamati sebuah kejadian, mengeluarkan pendapat dan berkreasi sesuai kemampuan. Tak lupa di setiap pertemuan pada kelas jurnalistik ini kami menetapkan sistem deadline alias harus siap pada hari itu juga. 

Contohnya dalam membuat mading sekolah. Dengan durasi waktu satu setengah jam, mereka harus menghasilkan karya mading ukuran satu lembar kertas kartun dan harus siap dalam waktu tersebut. Alhasil anak-anak dituntut untuk berpikir kritis sekaligus realistis karena mereka harus menjalin hubungan kerja sama dengan yang lain. Tentu saja sebelum mading dipajang, harus lulus sensor yang dilakukan oleh guru pembina. Satu hal yang perlu kita ingat bahwa sekecil atau sesederhana apapun karya mereka, sudah sepatutnya kita apresiasi agar mode cakap berliterasi tetap menyala di hati dan pikiran mereka, generasi muda bangsa ini. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun