Mohon tunggu...
Indah budiarti
Indah budiarti Mohon Tunggu... Guru - https://www.kompasiana.com/indahbudiarti4992

Guru biasa dalam kesederhanaan. Berani mencoba selagi ada kesempatan. Menulis untuk keabadian.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Literally Little Thing

22 April 2021   07:02 Diperbarui: 22 April 2021   07:08 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kecil -- kecil cabe rawit. Ungkapan ini sering kita dengar ketika menyatakan kelebihan yang dimiliki seseorang yang usianya lebih muda dari kita atau tubuhnya yang lebih kecil dari kita. Ungkapan ini juga menunjukkan rasa tidak percaya atas apa yang kita lihat dari seseorang yang dijuluki si kecil-kecil cabe rawit, biar kecil tapi aksi yang dikeluarkan terasa menggigit.

Tetapi ungkapan ini tidak berlaku untuk kawan mengajar saya. Usianya lebih tua, namun bakat yang dimilikinya  mengalir terus sampai jauh bagaikan air di dalam pipa rucika ( maaf, bukan endorse-an) . Postur tubuhnya terbilang unik. Mungil. Kecil. Pernah ia bisa disangka tak hadir dalam sebuah pesta oleh sang tuan rumah padahal ia berdiri di depannya.

Namanya Theresia Sumiyati dan lebih akrab dipanggil Bu Sum. Seperti yang saya tuliskan di atas, bahwa saya jauh lebih muda darinya, namun jika kami bersanding dua, ia akan terlihat lebih muda dari usianya ( kata orang, beruntung memiliki tubuh kecil, karena selalu kelihatan awet muda ).

Mengenal dirinya sungguh menjadi suatu keberuntungan dalam hidup saya. Dari seseorang yang menggemari kue onde-onde bulat berisi kacang hijau dan dilumuri wijen ini, saya belajar banyak hal. Yang paling saya ingat dan akan saya jaga sampai saat ini adalah bagaimana kita menjaga tutur dan ucapan kita. Darinya , saya belajar betapa perlunya kita menjaga privacy seseorang. Darinya pula saya belajar bagaimana berkata yang baik-baik saja. dan saya nyaris tak pernah mendengar ia ngomongin orang sampai segitunya. Sungguh luar biasa!

Bu Sum adalah seorang guru yang rendah hati. Bagaimana tidak? Ia adalah guru kelas bawah di sebuah sekolah dasar swasta di kota ini, di tempat saya dilahirkan.

Bu Sum mengakui, bahwa ia tak pernah naik kelas. Selalu menjadi guru kelas 1 dan 2. Dan saya rasa, pihak sekolah sudah cukup bijak menempatkan Bu Sum di kelas bawah sekolah dasar. Coba kalau ia diminta untuk mengajar kelas 6, pasti kita akan kasihan melihatnya. Tak sedikit murid kelas 5 dan 6 yang tumbuh kembangnya sangat pesat sehingga Bu Sum harus mendongak jika ingin berbicara dengan mereka.

Bu Sum pandai memainkan beberapa alat musik khususnya organ, keyboard dan piano. Di gereja, ia sudah menjadi organis langganan. Tak hanya di gereja, beberapa lembaga pendidikan lainnya sering memintanya menjadi pengiring pada acara-acara mereka. Sayangnya, ia tak pernah mencoba untuk menjadi pemain organ tunggal pada acara kawinan di pelosok kota yang biasanya memainkan lagu-lagu dangdut. Coba kalau mau, pasti lebih seru!

Bu Sum memiliki dua orang anak laki-laki tanpa anak perempuan. Jagoan-jagoannya sudah beranjak dewasa. Bu Sum menjadi yang tercantik di keluarganya. Ia tampak lebih manis berada di tengah-tengah tiga lelaki yang amat sangat mencintainya, yaitu seorang suami dan kedua anak lelakinya. Kelak di masa tuanya, ia akan hidup nyaman, setidaknya akan aman dikelilingi tiga lelaki yang menjadi bodyguardnya seumur hidup. Saya mengamini hal ini.

Dari seorang Bu Sum, saya dibangkitkan kembali dari kegemaran saya menulis sejak kecil. Karena kesibukan pada kerja dan faktor usia, saya sempat melupakan menulis.Dan gara-gara Bu Sum, saya terpacu untuk menulis. Jeleknya saya adalah menulis di saat terdesak saja. Misalnya di kala ingin mengikuti lomba, atau gara-gara tulisan Bu Sum jadi trending di media penulisan.

Tak jarang saya menulis di saat emosi menggugah pikiran yang akan menggerakkan tangan untuk menulis. Sedangkan Bu Sum, ia selalu menulis kapan saja dan pada peristiwa apa saja yang dialaminya.

Tulisan-tulisannya ringan namun sangat mengena pada kehidupan sehari-hari. Tulisannya sudah menjadi buku-buku yang enak untuk dibaca. Selalu mengangkat tema keseharian menjalankan tugas  menjadi guru atau mengenai sisi kehidupan manusia lainnya. Tulisannya yang sedang berlangsung saat ini adalah tantangan menulis selama lebih dari satu bulan setiap harinya tanpa henti. Ia sangat ambisius dalam penulisan kali ini. Mencicil agar menjadi sebuah novel. Salutnya lagi, ia menulis novel yang mengisahkan sebagian dari pengalaman hidupnya. Tulisan yang diunggah setiap harinya di sebuah media fb itu sempat membuat beberapa rekan mengajar kami penasaran, bahkan ada yang membenci sang tokoh utama. Hmmm...kok malah jadi seperti menonton  cerita-cerita di sinetron ya..? Itu tandanya, ia berhasil menulis. Salut!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun