Di tengah semangat pembangunan berbasis data, kita kerap terjebak pada jebakan formalitas. Koordinasi di tingkat menengah dan atas lebih sibuk membaca angka daripada menyapa wajah-wajah “lelah” di baliknya. Ironisnya, kesalahan administratif yang kecil pun bisa berujung pemanggilan dan pembinaan terhadap bawahan hanya karena silang pendapat di grup WhatsApp.
Bayangkan, seorang pendamping desa yang capaian kerjanya tertinggi justru dipanggil karena dianggap ‘tidak membina’ hanya karena berbeda cara pandang dengan koordinator setingkatnya. Padahal, jika mau sedikit membuka ruang komunikasi, banyak hal bisa dijelaskan dengan akal sehat dan hati yang jernih.
Situasi ini menunjukkan kecenderungan birokrasi kita yang tajam ke bawah dan tumpul ke diri sendiri. Kita cepat menuduh kesalahan di hilir, namun enggan mengoreksi kekakuan sistem dan miskinnya literasi komunikasi di hulu. Data dijadikan senjata, bukan alat bantu pemahaman.
Dalam Bureaucracy and Democracy (2010), Stillman menyebutkan bahwa birokrasi modern sering kehilangan kemampuan mendengar karena terlalu sibuk mengelola laporan daripada memahami realitas yang dilaporkan. Ini adalah potret kita hari ini.
Ketika Laporan Lebih Penting dari Realita
Laporan angka menjadi satu-satunya narasi yang dipercaya. Tak peduli bagaimana pendamping desa di bawah berpeluh di lapangan, angka lebih dipercaya ketimbang kesaksian langsung. Kita terlalu percaya bahwa google form atau spreadsheet bisa menggantikan dialog, dan bahwa grafik bisa mewakili dinamika sosial desa.
Dalam banyak kasus, pendamping desa dianggap tidak maksimal hanya karena input data tak tepat waktu, meski proses pemberdayaan warga berjalan dengan intensif dan berhasil. Sistem menuntut kesempurnaan format, tapi lalai menghadirkan sistem yang ramah pengguna.
Fenomena ini diulas oleh James C. Scott dalam Seeing Like a State (1998), di mana negara cenderung menyederhanakan realitas sosial ke dalam format teknokratis, lalu menilai efektivitas dari hasil simplifikasi itu. Padahal, kompleksitas kerja lapangan tidak bisa dirangkum dalam angka-angka tunggal.
Di titik ini, kita menuntut akurasi dan kesempurnaan dari para pelaksana teknis, tapi enggan merefleksi bagaimana buruknya desain sistem dan miskinnya proses pembinaan dan komunikasi. Kita gagal membangun sistem pembelajaran yang kolaboratif, dan lebih memilih pendekatan instruksi sepihak.
Di Mana Bimbingan yang Dijanjikan?
Sudah saatnya kita bertanya: benarkah kesalahan administratif milik bawahan an sich? Ataukah kita sebenarnya malas mengaudit sistem yang kita bangun sendiri? pendamping desa bekerja dengan target dan perintah yang terus berubah, aplikasi yang sering bermasalah, dan kebijakan yang sering kali tak sinkron. Namun, ruang bimbingan teknis tak diperbanyak. Ruang klarifikasi makin sempit. Yang ada hanya perintah dan hukuman.
Dalam Pedoman Umum Pendampingan Desa (Kementerian Desa, PDTT, 2021), disebutkan bahwa pendamping harus mendapatkan pelatihan berkelanjutan—bukan hanya meneruskan perintah yang sering kali tanpa penjelasan, supervisi yang konstruktif, dan penghargaan atas inovasi. Tapi dalam praktik, yang hadir hanya teguran, audit sepihak, dan minimnya apresiasi atas kerja keras.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!