Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Penikmat Kopi

Seorang analis pembangunan desa dan konsultan pemberdayaan masyarakat yang mengutamakan integrasi SDGs Desa, mitigasi risiko bencana, serta pengembangan inovasi berbasis lokal. Ia aktif menulis seputar potensi desa, kontribusi pesantren, dan dinamika sosial di kawasan timur Indonesia. Melalui blog ini, ia membagikan ide, praktik inspiratif, dan strategi untuk memperkuat ketangguhan desa dari tingkat akar rumput. Dengan pengalaman mendampingi berbagai program pemerintah dan organisasi masyarakat sipil, blog ini menjadi ruang berbagi pengetahuan demi mendorong perubahan yang berkelanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Tajam ke Bawah Namun Tumpul ke Diri Sendiri: Otokritik di Tengah Dilema Administrasi Data

23 Mei 2025   08:08 Diperbarui: 23 Mei 2025   08:08 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2022/01/29/kepada-siapa-hukum-mengabdi)

Di tengah semangat pembangunan berbasis data, kita kerap terjebak pada jebakan formalitas. Koordinasi di tingkat menengah dan atas lebih sibuk membaca angka daripada menyapa wajah-wajah “lelah” di baliknya. Ironisnya, kesalahan administratif yang kecil pun bisa berujung pemanggilan dan pembinaan terhadap bawahan hanya karena silang pendapat di grup WhatsApp.

Bayangkan, seorang pendamping desa yang capaian kerjanya tertinggi justru dipanggil karena dianggap ‘tidak membina’ hanya karena berbeda cara pandang dengan koordinator setingkatnya. Padahal, jika mau sedikit membuka ruang komunikasi, banyak hal bisa dijelaskan dengan akal sehat dan hati yang jernih.

Situasi ini menunjukkan kecenderungan birokrasi kita yang tajam ke bawah dan tumpul ke diri sendiri. Kita cepat menuduh kesalahan di hilir, namun enggan mengoreksi kekakuan sistem dan miskinnya literasi komunikasi di hulu. Data dijadikan senjata, bukan alat bantu pemahaman.

Dalam Bureaucracy and Democracy (2010), Stillman menyebutkan bahwa birokrasi modern sering kehilangan kemampuan mendengar karena terlalu sibuk mengelola laporan daripada memahami realitas yang dilaporkan. Ini adalah potret kita hari ini.

Ketika Laporan Lebih Penting dari Realita

Laporan angka menjadi satu-satunya narasi yang dipercaya. Tak peduli bagaimana pendamping desa di bawah berpeluh di lapangan, angka lebih dipercaya ketimbang kesaksian langsung. Kita terlalu percaya bahwa google form atau spreadsheet bisa menggantikan dialog, dan bahwa grafik bisa mewakili dinamika sosial desa.

Dalam banyak kasus, pendamping desa dianggap tidak maksimal hanya karena input data tak tepat waktu, meski proses pemberdayaan warga berjalan dengan intensif dan berhasil. Sistem menuntut kesempurnaan format, tapi lalai menghadirkan sistem yang ramah pengguna.

Fenomena ini diulas oleh James C. Scott dalam Seeing Like a State (1998), di mana negara cenderung menyederhanakan realitas sosial ke dalam format teknokratis, lalu menilai efektivitas dari hasil simplifikasi itu. Padahal, kompleksitas kerja lapangan tidak bisa dirangkum dalam angka-angka tunggal.

Di titik ini, kita menuntut akurasi dan kesempurnaan dari para pelaksana teknis, tapi enggan merefleksi bagaimana buruknya desain sistem dan miskinnya proses pembinaan dan komunikasi. Kita gagal membangun sistem pembelajaran yang kolaboratif, dan lebih memilih pendekatan instruksi sepihak.

Di Mana Bimbingan yang Dijanjikan?

Sudah saatnya kita bertanya: benarkah kesalahan administratif milik bawahan an sich? Ataukah kita sebenarnya malas mengaudit sistem yang kita bangun sendiri? pendamping desa bekerja dengan target dan perintah yang terus berubah, aplikasi yang sering bermasalah, dan kebijakan yang sering kali tak sinkron. Namun, ruang bimbingan teknis tak diperbanyak. Ruang klarifikasi makin sempit. Yang ada hanya perintah dan hukuman.

Dalam Pedoman Umum Pendampingan Desa (Kementerian Desa, PDTT, 2021), disebutkan bahwa pendamping harus mendapatkan pelatihan berkelanjutan—bukan hanya meneruskan perintah yang sering kali tanpa penjelasan, supervisi yang konstruktif, dan penghargaan atas inovasi. Tapi dalam praktik, yang hadir hanya teguran, audit sepihak, dan minimnya apresiasi atas kerja keras.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun