Meski tak semua menjadi juara, setiap cerita yang ditulis adalah api kecil yang menerangi hati kami. Setiap kata yang tercurah menjaga nyala Ramadan, mengingatkan akan makna kebersamaan yang lebih besar dari sekadar kemenangan. (Pengumuman Pemenang Lomba Ramadan Bercerita 2025)
Ramadan sudah pergi, seperti hujan pertama yang tak bisa ditahan, tapi selalu dinanti. Yang tertinggal hanyalah jejak—kadang tergenang, kadang mengering bersama waktu. Tapi ada yang menetap lebih lama dari sekadar basah: cerita.
Di desa, Ramadan tak hanya soal sahur dan tarawih. Ia datang membawa suasana, menggiring anak-anak berlatih puasa, ibu-ibu menyiapkan kolak, dan bapak-bapak menata masjid. Ramadan menyatukan semua dalam satu kata: kebersamaan.
Itulah sebabnya, ketika Kompasiana mengajak masyarakat ikut Ramadan Bercerita 2025, banyak warga desa ikut menyimak, bahkan mencoba menulis. Walau tak semua fasih menata kalimat, tapi setiap kalimat lahir dari hati.
Sebagian dari kami menulis tentang bubur suran, sebagian lain mengisahkan bagaimana lampu pelita jadi simbol harapan di malam ganjil. Ada juga yang menceritakan pasar desa yang semakin ramai menjelang Lebaran. Semuanya tentang Ramadan.
Ketika pemenang diumumkan, tentu saja ada yang bergembira. Nama-nama seperti Agung Han, Akbar Pitopang, hingga Lidya Fitrian tertera di sana. Mereka membawa pulang hadiah, dan lebih penting lagi: membawa pulang pengakuan atas cerita mereka.
Namun, di balik tawa para pemenang, ada diam yang menggantung. Sebab sebagian dari kami—yang juga menulis dari teras bambu, ruang tamu sempit, atau mushola kampung—harus mengelus dada.
Ada yang kecewa karena tak disebut. Ada yang bertanya-tanya: apakah cerita tentang pasar dusun dan bubur kanji terlalu sederhana? Apakah kisah bapak-bapak ronda tak cukup menarik? Tapi bukankah Ramadan selalu tentang kesederhanaan?
Di situlah kami belajar lagi. Menulis bukan sekadar soal menang atau kalah. Ia adalah tentang menyuarakan, tentang membuat jejak. Seperti kata Ayu Utami dalam Bilangan Fu (2008), “Kata-kata adalah kekuasaan yang bisa menyelamatkan manusia dari kesia-siaan hidup.”
Kami pun sepakat, sebagaimana Putu Wijaya dalam Rupa-rupa Cerita (2002) menyampaikan, bahwa yang penting bukan selalu menang, tapi mengalami. Karena pengalaman adalah guru, dan menulis adalah cara kami belajar.