Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Penikmat Kopi

Seorang analis pembangunan desa dan konsultan pemberdayaan masyarakat yang mengutamakan integrasi SDGs Desa, mitigasi risiko bencana, serta pengembangan inovasi berbasis lokal. Ia aktif menulis seputar potensi desa, kontribusi pesantren, dan dinamika sosial di kawasan timur Indonesia. Melalui blog ini, ia membagikan ide, praktik inspiratif, dan strategi untuk memperkuat ketangguhan desa dari tingkat akar rumput. Dengan pengalaman mendampingi berbagai program pemerintah dan organisasi masyarakat sipil, blog ini menjadi ruang berbagi pengetahuan demi mendorong perubahan yang berkelanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Menimbang Ulang Busana Lebaran: Antara Mode, Keawetan, dan Keberlanjutan

25 Maret 2025   03:40 Diperbarui: 25 Maret 2025   03:40 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Antara mode, keawetan, dan keberlanjutan (Sumber: lifestyle.kompas.com/read/2023/05/12/190000020/-sustainable-fashion-yang-ramah-lingkungan?page=all)

Setiap kali Lebaran tiba, suasana berubah. Tidak hanya hati yang bersiap menyambut hari kemenangan, tetapi juga pakaian yang melekat di tubuh. Tren, warna, dan desain terbaru selalu menjadi bahan perbincangan. Ada semacam dorongan untuk tampil berbeda, lebih segar, lebih baru.

Namun, di balik euforia ini, ada pertanyaan yang perlu diajukan. Apakah benar pakaian Lebaran harus selalu baru? Atau mungkinkah ada cara lain untuk merayakan hari suci tanpa harus terjebak dalam siklus konsumsi yang berlebihan?

Fast fashion telah lama mengajarkan bahwa pakaian memiliki umur pendek. Setiap musim menghadirkan tren baru, sementara koleksi lama ditinggalkan. Siklus ini menciptakan kebiasaan belanja impulsif yang sering kali berakhir pada tumpukan pakaian yang tak terpakai.

Di sisi lain, mode berkelanjutan menawarkan perspektif berbeda. Ia tidak hanya tentang memilih merek yang lebih ramah lingkungan, tetapi juga tentang mengubah pola pikir. Setiap pakaian yang dimiliki seharusnya dihargai, dipakai lebih lama, dan tidak sekadar menjadi benda sekali pakai.

Di desa, konsep ini bukanlah hal baru. Sejak lama, masyarakat sudah menerapkan pola konsumsi yang lebih bijak. Anak-anak dibelikan pakaian dengan ukuran longgar agar bisa dikenakan lebih lama. Sementara orang tua memiliki kategori pakaian berdasarkan kegunaan. Yang baru atau masih layak pakai digunakan untuk bepergian, sementara yang sudah lusuh beralih fungsi menjadi pakaian kerja.

Kebiasaan ini bertolak belakang dengan tren konsumsi di perkotaan. Masyarakat urban cenderung lebih sering membeli pakaian baru untuk setiap kesempatan. Pergeseran ini tidak hanya berdampak pada pengeluaran pribadi, tetapi juga pada lingkungan. Industri fashion menyumbang limbah tekstil dalam jumlah besar, mencemari air dan tanah.

Saat Lebaran tiba, godaan untuk membeli pakaian baru semakin besar. Iklan dan promosi dari berbagai merek memperkuat anggapan bahwa tampil dengan pakaian baru adalah bagian dari perayaan. Padahal, kebahagiaan Lebaran tidak selalu terletak pada apa yang dikenakan, tetapi lebih pada nilai kebersamaan dan kesederhanaan.

Mode berkelanjutan mengajak kita untuk berpikir ulang sebelum membeli. Sebuah pakaian yang berkualitas baik bisa menjadi investasi jangka panjang. Jika dirawat dengan baik, ia bisa bertahan bertahun-tahun, bahkan digunakan kembali untuk Lebaran berikutnya.

Pilihan ini bukan hanya tentang penghematan, tetapi juga tentang kepedulian terhadap lingkungan. Dengan membeli lebih sedikit dan memilih pakaian yang lebih awet, kita mengurangi jejak karbon yang dihasilkan dari produksi tekstil.

Di tengah perubahan iklim yang semakin nyata, setiap langkah kecil menuju keberlanjutan memiliki dampak. Pakaian yang tahan lama, yang tidak mudah usang oleh tren, adalah bagian dari upaya tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun