Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Penikmat Kopi

Seorang analis pembangunan desa dan konsultan pemberdayaan masyarakat yang mengutamakan integrasi SDGs Desa, mitigasi risiko bencana, serta pengembangan inovasi berbasis lokal. Ia aktif menulis seputar potensi desa, kontribusi pesantren, dan dinamika sosial di kawasan timur Indonesia. Melalui blog ini, ia membagikan ide, praktik inspiratif, dan strategi untuk memperkuat ketangguhan desa dari tingkat akar rumput. Dengan pengalaman mendampingi berbagai program pemerintah dan organisasi masyarakat sipil, blog ini menjadi ruang berbagi pengetahuan demi mendorong perubahan yang berkelanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Pilihan

Menyalakan Lentera Hati di Ambang Ramadhan

24 Februari 2025   12:21 Diperbarui: 24 Februari 2025   12:21 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Marhaban ya Ramadhan (sumber: kompas.com/tren/read/2024/03/06/071500965/)

Malam di Lombok semakin syahdu ketika dile jojor (obor-obor kecil) mulai dinyalakan di pekarangan rumah. Cahaya temaram itu bukan sekadar penerang, tetapi simbol kegembiraan masyarakat Sasak dalam menyambut Ramadhan. Mereka menyebutnya maleman, tradisi turun-temurun yang menandai kesiapan batin dan raga menghadapi bulan suci.

Tradisi di berbagai penjuru Lombok ini tidak sekadar ritual kosong. Ada doa yang terselip di antara nyala lampu-lampu itu. Doa yang mengalir di bibir para orang tua, pemuda, hingga anak-anak. Mereka memohon agar diberi umur panjang, kesehatan, dan kelancaran dalam menjalankan ibadah puasa. Sebuah harapan yang juga tergambar dalam hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, tentang doa meminta keberkahan di bulan Rajab dan Sya'ban agar bisa bertemu Ramadhan.

Di desa-desa, warga berkumpul dalam suasana yang akrab. Mereka menggelar tradisi Roah, sebuah perjamuan doa yang mempererat hubungan antarkeluarga dan tetangga. Makanan khas seperti bebalung, sate pusut, dan urap-urap terhidang di tengah-tengah mereka. Namun, bukan sekadar makanan yang mengenyangkan perut, melainkan juga kebersamaan yang menguatkan ikatan sosial.

Sosiolog Robert Putnam dalam bukunya Bowling Alone (2000) menyebutkan bahwa tradisi komunal seperti ini memperkuat modal sosial masyarakat. Dalam konteks Sasak, Roah bukan sekadar warisan budaya, melainkan mekanisme sosial yang menjaga kebersamaan. Ramadhan menjadi momentum di mana nilai-nilai solidaritas kian terasa nyata.

Sebelum bulan suci dimulai, ada satu lagi tradisi yang kental dalam budaya Sasak, Penampahan. Sehari sebelum Ramadhan, beberapa keluarga menyembelih sapi atau kambing untuk dibagikan kepada kerabat dan tetangga. Mirip dengan tradisi Munggahan di Jawa Barat atau Meugang di Aceh, Penampahan menjadi wujud sedekah dan rasa syukur.

Menurut Koentjaraningrat dalam Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan (2004), praktik berbagi seperti ini adalah refleksi nilai gotong royong dalam masyarakat agraris. Di Lombok, hal ini masih lestari, menjadi perekat sosial yang kuat di tengah arus modernisasi yang sering kali menggerus nilai-nilai tradisional.

Dalam ranah spiritual, masyarakat Sasak juga memiliki tradisi Bebersinan, merupakan tradisi pembersihan diri, baik secara fisik maupun spiritual, sebagai persiapan menyambut bulan suci Ramadhan dan Idul Fitri, mencerminkan kesucian dan kesiapan menjalankan ibadah dengan khusyuk. Dalam buku Islam and the Malay-Indonesian World (1995), Azyumardi Azra menjelaskan bahwa praktik seperti ini merupakan akulturasi antara Islam dan budaya lokal yang memperkuat identitas keagamaan komunitas.

Menyambut Ramadhan bukan sekadar ritual seremonial, melainkan juga perjalanan batin. Di berbagai masjid dan mushala, jamaah mulai membaca doa yang diajarkan Nabi: "Allahumma barik lana fi Rajaba wa Sya'bana wa ballighna Ramadhan." Kalimat ini menjadi mantra spiritual yang menghubungkan harapan umat Islam lintas generasi.

Dalam sejarahnya, Islam datang ke Nusantara tidak hanya dengan ajaran syariah, tetapi juga dengan kearifan lokal yang berkembang di tengah masyarakat. Clifford Geertz dalam The Religion of Java (1960) menggambarkan bagaimana Islam di Indonesia tumbuh dalam lanskap sosial yang kaya dengan tradisi. Di Lombok, Ramadhan disambut dengan cara yang khas, tetapi tetap berakar pada nilai-nilai Islam universal.

Namun, di tengah gegap gempita menyambut Ramadhan, ada satu renungan yang mengemuka. Apakah tradisi-tradisi ini akan tetap lestari di tengah perubahan zaman? Modernisasi, urbanisasi, dan pola hidup yang semakin individualistik bisa menjadi tantangan tersendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun