Kasus hukum yang menjerat Silfester Matutina, ketua relawan Solidaritas Merah Putih, berakar dari aksi orasinya yang menuding mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menggunakan isu SARA dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. Laporan diajukan oleh Solihin Kalla, anak JK, dan vonis awal satu tahun penjara diperberat hingga 1,5 tahun oleh Mahkamah Agung. Putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap (inkrah) sejak 2019, namun hingga kini belum dieksekusi.
Mantan Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan (Kajari Jaksel), Anang Supriatna, menyatakan bahwa perintah eksekusi memang pernah diterbitkan. Namun, pada waktu itu Silfester tidak diketahui keberadaannya, sehingga eksekusi tidak bisa dilakukan.
Kemudian, pandemi COVID-19 turut menjadi alasan tertundanya eksekusi. Anang menyatakan bahwa saat itu aktivitas penahanan bahkan pengeluaran narapidana sangat dibatasi. Meski perintah eksekusi telah ada, pelaksanaannya terhambat oleh situasi darurat tersebut.
Sikap Kejaksaan Agung kini terkesan ambigu. Di satu sisi, mereka menyampaikan bahwa proses peninjauan kembali (PK) tidak menghalangi pelaksanaan eksekusi. Namun di sisi lain, Kejagung meminta publik untuk menunggu hasil sidang PK yang digelar pada 20 Agustus 2025 --- meski secara hukum PK tidak seharusnya menunda eksekusi.
Dalam sidang PK yang digelar pada Rabu, 20 Agustus 2025, Humas Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjelaskan bahwa agenda sidang dimulai pukul 13.00 WIB, namun pelaksanaannya tetap bergantung pada kesiapan semua pihak. Sementara itu, Kapuspenkum Kejagung, Anang Supriatna, menyatakan, "tunggu PK saja" --- walau sebelumnya menegaskan PK tidak menunda eksekusi.
Publik dan sejumlah pihak mempertanyakan ketidakjelasan ini dengan tajam. Ada kecurigaan bahwa Silfester, yang dikenal sebagai relawan Presiden Joko Widodo, mendapat perlakuan istimewa. Beberapa pihak menduga adanya tekanan politik atau adanya figur "orang besar" yang melindungi Silfester. Spekulasi seperti ini menimbulkan kekhawatiran terhadap prinsip "equality before the law."
Sejumlah politisi dan aktivis masyarakat sipil juga mulai bersuara lantang. Mereka menekankan bahwa pembiaran kasus ini hanya akan memperburuk wajah penegakan hukum di Indonesia. Tidak sedikit yang mendesak agar DPR, Komisi Kejaksaan, maupun lembaga pengawas independen turut mengawasi proses ini agar tidak ada diskriminasi hukum.
Jika Silfester enggan dieksekusi maka bukan hukum yang rusak, tetapi nama baik Presiden Prabowo yang akan tercoreng, mengingat kasus ini sudah menjadi atensi publik nasional. Presiden yang baru dilantik tentu ingin menunjukkan komitmen pada penegakan hukum tanpa pandang bulu. Maka, apabila aparat hukum dianggap ragu, publik bisa menilai ada intervensi politik atau kompromi yang merugikan wibawa pemerintahan.
Kini publik menunggu dengan penuh harap agar pihak kejaksaan bertindak adil dan konsisten. Jika memang tidak ada intervensi politik atau perlakuan istimewa, eksekusi seharusnya dilaksanakan segera setelah putusan inkrah. Transparansi dan penegakan hukum yang tegas menjadi kunci agar citra institusi peradilan, kejaksaan, bahkan pemerintahan tidak tercoreng oleh tudingan intervensi maupun diskriminasi.
Â