Mohon tunggu...
Harun Imohan
Harun Imohan Mohon Tunggu... Psikolog - Saya anak kedua dari tiga bersaudara. Sebagai sarjana muda, saya hanya bisa menulis untuk sementara waktu karena belum ada pekerjaan tetap.

Aku ber-Majelis maka aku ada

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Jualan Psikologis Yuk..

26 Oktober 2017   22:38 Diperbarui: 26 Oktober 2017   23:08 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pernahkah anda pergi ke tempat dimana sekumpulan orang atau sebagian orang atau lebih dari satu orang sedang menjalankan transaksi? Di pasar (Baca: tempat transaksi barang) tentunya banyak sekali kita bisa melihat proses jual beli yang dilakukan oleh para pedagang sebagai pemilik barang dan para pembeli sebagai calon pemiliki barang. Jual beli yang dilakukan biasanya ditentukan dalam tempat yang disetujui atau bahkan tempat yang sudah disepakati sebagai tempat bertemunya para penjual dan pembeli.

Seni jual beli juga beragam di era modern ini. Kali ini masyarakat mulai menyukai jual beli dilakukan tanpa adanya tempat yang sudah ditentukan oleh para pedagang (pasar). Menggunakan teknologi komunikasi online berbasis sosial media, para penjual barang menawarkan barang dagangannya yang kemudian muncul di setiap alat komunikasi onlie (pc dan atau handphone) para pembeli. Jika terjadi kesepatakan harga dengan melihat barang secara perwakilan (foto), barulah penjual mengantarkan barang yang dipesan oleh pembeli.

Namun, tak semua pedagang dan pembeli menyetujui sistem tersebut. Ada sistem yang dilakukan oleh para penjual dan pembeli dengan terlebih dahulu bertemu di tempat yang sudah disetujui guna melihat barang dan bernegosaisasi. Kedua sistem ini intinya sama, yakni tidak terpaku pada tempat (pasar), fleksibel dan memudahkan.

Berdagang adalah gambling; ada untung ada rugi. Semakin banyak faktor yang diperhitungkan terhadap komoditas maka semakin sempit kemungkinan kerugian menghampiri para pedagang. Berlaku juga sebaliknya. Kita tidak akan pernah tau dimana kerugian melanda kita sebagai penjual jika tidak mampu melihat dan mengamati serta memperhitungkan pangsa pasar. Itulah mengapa banyak para penjual Sempolyang beralih menjadi penjual seblak. Atau contoh yang lain mampu terjawab oleh pergeseran konsep awal para pedagang dalam menjajakan dagangannya kepada konsep yang baru. Semua itu dilakukan oleh para pedagang supaya mampu menarik perhatian pembeli, terlebih lagi mengharapkan uang para pembeli yang ada didompetnya jatuh kepada dompet milik pribadi (Baca: laba).

 Fakta tersebut memaksa kita untuk memahami kemauan para konsumen sebagai orang yang membuat kita (para pedagang) mampu bertahan dalam dunia perdagangan. Dalam memahami kemauan konsumen tentu ada cara dan teknis pelasanakan yang terbilang ilmiah, yakni menggunakan pendekatan ilmu Psikologi.

Yah, seperti kita tahu, harapan yang ditampilkan dalam adegan iklan sangat menyerang bagian psikis para pemirsa. Buktikan dengan melihat iklan parfum. Salah seorang perempuan menggunakan parfum dengan merk A, kemudian selang beberapa detik perempuan tersebut menjadi bidadari mendadak yang berkunjung ke negeri dongeng. 

Kira-kira perempuan mana yang tidak mau menjadi bidadari? Ah, namanya juga ikla, meskipun muatan fiktifnya mencolok, tapi psikis pemirsa khususnya pemirsa perempuan setelah melihat iklan tersebut. Untuk menjadi bidadari dan terbang juga digemari para lelaki kini tak perlu repot menggunakan teknik jaran goyang atau semar mesem, dalam hati (setelah melihat tayangan iklan itu) berkata, yuk ke AlfaMei beli parfum.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun