Mohon tunggu...
Humaniora

Romansa Hari Valentine di Pagi Buta

15 Maret 2018   11:16 Diperbarui: 15 Maret 2018   11:53 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sepertinya aku sudah terlalu tua untuk merayakan valentine, ya meski bayangan tentang coklat dan kiriman bunga sempat mampir di tepi pikiranku. Menurutku, itu cukup manusiawi mengingat dulunya sebelum menikah aku adalah remaja yang dibesarkan dengan belasan perayaan valentine.

Suamiku, Mas Nirwan adalah pekerja keras dengan 4 bidang pekerjaan yang wajib ditekuni dalam sehari. Pagi sampai menjelang dzuhur dia mengajar di salah satu yayasan pendidikan dengan penghasilan perbulan yang hanya cukup membeli sekarung beras dan seliter minyak goreng. Lepas mengajar, ditanggalkannya sepatu dan buku. Lalu hanya dengan berbekal sandal jepit yang mulai menipis di bagian pangkal dia mulai membuka bengkel tambal ban. 

Sehari paling banter cuma dapat 15 ribu, itu pun kalau ada pasien. Sore hari dia ngelesi anak tetangga dengan sistem pembayaran per datang Rp 2000,- untuk setiap kepala. Dari sana dalam sehari aku sebagai "Kasir" bisa mengantongi uang belanja hingga Rp 20.000,-. Belum berakhir suamiku berjibaku untuk menghidupi anak istrinya, lepas isya dengan mengenakan jaket kulit yang mulai mengelupas, suamiku berkelana mencari penumpang di setiap pengkolan dengan motor bravo tahun 2000 an, warisan kasih dari orang tua. Jelas jauh dari layak untuk mendaftar menjadi driver ojek on line.

Yah, sebagai istri dengan 2 anak usia sekolah dan perut membuncit 7 bulan, aku merasa wajib memaklumi aktivitas suami. Toh, apapun yang dia lakukan semata demi kami bertahan hidup, agar dapur bisa terus menggepul asap, agar Rafi dan Jane bisa jajan dan bayar uang LKS seperti anak yang lain, dan agar cabang bayi dalam kandunganku lahir dengan tenang, selamat, tanpa ketar-ketir mengkalkulasi biaya persalinan. Meski demi semua itu, aku merasa menjadi seorang istri yang dimadu dengan pekerjaan.

Diam-diam aku sering mengintip rumput tetangga kanan, kiri, depan yang begitu menghijau. Bu Esti, tetangga yang merapat di sebelah kanan, meski telah berumur hampir setiap pagi menemani suaminya  bersantai menikmati masa pensiun di teras depan dengan menyeruput secangkir teh. Samar kudengar keduanya berbincang mengenang teman lama, seperti terlupa untuk membahas cicilan hutang dan tunggakan listrik. 

Lalu pasangan baru menikah, Dek Yuni dan Dek Ikbal di rumah seberang, kegiatan sehari-hari mereka tak pernah terlepas dari tema romantisme. Mulai dari melakukan yoga besama, hingga dinner yang kutebak hampir setiap malam. Entah seberapa tebal dompet keduanya, ataukah karena mereka belum punya tanggungan. Tapi bicara soal tanggungan, Mbak Erni tetangga di sebelah kiri rumah kami juga punya dua orang anak, bedanya suaminya adalah PNS yang jam 4 sore sudah merapat di rumah, dan selalu punya waktu mengajak istrinya ke mall.

Sementara aku yang lagi hamil besar, harus menghadapi kenyataan bahwa di usia paruh bayanya, suamiku mulai lupa untuk berkata I love you, jarang mengecup sayang keningku sepulang kerja, dan hebatnya dia mulai pikun dengan anniversary kami. Termasuk mengabaikan malam ini, malam 14 Ferbruari yang dulunya di masa pacaran menjadi moment bagi kami untuk bertukar coklat dan bunga. Beratnya pertarungan hidup sedikitnya merampas sisi romantis dari suami yang dulunya sempat kubanggakan di hadapan orang tua.

Sempat aku menyindirnya, saat mengintip ke rumput seberang, dimana Dek Yuni dan Dek Ikbal dengan mengenakan kaos couple telah bersiap keluar dinner. Suamiku hanya tertawa, kembali mengenakan helm lalu pamit pergi ngojek, meninggalkanku dalam ruang sepi yang kuberi nama: Nelangsa.   Sesungguhnya sebagai istri yang begitu pengertian, tidak banyak yang kumau. Tidak perlu mengajakku dinner, atau berbelanja di mall. 

Dibawa ke Alfamart saja aku bakal girang. Ha...ha...ha, apa perlu, ya aku membuat semacam video rintihan ibu-ibu dandan menor seperti yang sempat viral di Instagram awal Januari lalu? Ah, rasanya tidak perlu. Aku kenal suamiku seperti apa. Lepas dari keromantisannya yang lesap karena usia  dan kondisi ekonomi, suamiku adalah lelaki setia yang bertanggung jawab. Bukankah itu lebih dari cukup bagi seorang istri? Kuputuskan untuk menemani Rafi dan Jane menyelesaikan PR.

Pukul 04.00 mendadak aku bangun begitu mendengar bisikan ghaib. Dengan langkah mengendap-endap, kutinggalkan suami dan 2 putraku yang masih terlelap berbungkus selimut. Langkahku menuju dapur, menyalakan kompor dengan tabung BrightGas 5,5 Kg, produk terbaru Pertamina yang punya double spindle valve, yang digadang-gadang lebih aman, nyaman dan ringan. Meski sedikit lebih mahal dari tabung biru, suami bilang tak masalah. Toh, kompor aman dan nyaman itu kebutuhan primer, yang belum ada subsitusinya.

Aku mulai memasak dengan bahan yang bisa kutemukan di kulkas, mulai dari tepung, telur, daging cincang, bawang, ah kupikir bisa membuat martabak sekelas pedagang kaki 5 di muka gang. Kenapa martabak? Karena aku ingat, di awal-awal pernikahan, di saat kami tinggal menumpang di rumah mertua, martabak buatanku adalah salah satu menu sarapan yang paling lahap suamiku makan. Maka mulailah aku menumis bawang yang sejatinya punya aroma lumayan menyiksa di saat berbadan dua begini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun