Mohon tunggu...
Cerpen

Memburu Denisa Maryam

24 Januari 2018   21:06 Diperbarui: 24 Januari 2018   21:13 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kecuali Dinda, tak seorang pun dari kami berempat yang memahami betul apa yang mau kami lakukan di tempat ini. Meski terdengar naif, sejatinya belum pernah sekalipun seumur hidup ku habiskan sepertiga malam terakhir tanpa dekapan selimut dan lampu tidur yang remang. 

Aku benci berjelajah di waktu malam, menangguhkan kantuk dan kerinduan yang teramat memuncak pada sarung bantal yang busuk oleh bau liurku. Aku benci dengan dingin malam yang menggerus, tak kelewat suka dengan kerlingan lampu langit yang sebentar berkedip lalu sesuka hati kemudian memudar. Oh, sungguh tak ada yang paling kuinginkan kecuali pulang dan membiarkan mata terkatup dalam pengawasan kedua orang tuaku.

Senada denganku, Hera juga berkali-kali tertangkap kamera sedang menguap, pasang matanya berkaca, berair lalu tumpah seolah terisak menangis. Tapi tidak dengan Revi, meski tak terlalu memahami maksud Dinda, atas dalih kesetiakawanan dia punya dalih untuk bertahan dalam sabar. 

Tak kudengar dia merengek, mengeluh meminta pulang. Kalaupun dia pada akhirnya menguap, buru-buru dia membekap mulutnya dengan dompet. Dia seorang yang menanggapi serius rencana Dinda untuk buru-buru bergerak begitu pintu rumah yang sedang kami intai terbuka.

"Memang siapa yang ada di rumah itu?" tanyaku dengan lengan menggeliat.

"Sudah kubilang, itu rumah kedua Denisa Maryam. Aku hanya penasaran dengan yang dia lakukan di rumah itu setiap malamnya."

Hera menanggapi dengan seringainya. "Ya tidurlah, kamu bilang itu rumah keduanya. Memang apa yang dilakukan seseorang di rumahnya malam-malam begini kalau bukan tidur?"

"Tapi itu rumah keduanya, Her. Buat apa coba, Denisa punya rumah kedua, sementara di Bintaro sana, dia punya rumah mewah, megah dan keluarga yang hangat?"

Kali ini aku membantu Hera menjawab. "Denisa itu artis papan atas, pemain sinetron, bintang iklan, dan sekarang lagi laris-larisnya main film, honornya selangit. Jangankan dua rumah, sepuluh apartemen dia sanggup beli."

"Kalau seperti katamu, dengan honornya dia sanggup beli sepuluh apartemen, kenapa dia memilih membeli rumah seperti ini? Rumah di pinggir rel kereta yang bising. 

Seharian dia bekerja, tidakkah dia lelah dan ingin pulang ke rumah yang tenang, damai, tak gaduh oleh gesekan mesin? Tidakkah itu mencurigakan, artis setenar Denisa Maryam tinggal di rumah petak, di pemukiman yang padat, dan dia harus memarkir mobilnya jauh-jauh?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun