Mohon tunggu...
Imanuel R Balak
Imanuel R Balak Mohon Tunggu... Lainnya - Solus Populi Suprema Est Lex. (Keslamatan Rakyat adalah hukum Tertinggi)

Ubi societas Ibi Ius (Dimana ada Masyarakat, Disitu ada Hukum).

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pernyataan Wamenkumham Sangat Tegas dan Berdasar

14 Januari 2021   13:27 Diperbarui: 14 Januari 2021   13:46 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada beberapa pekan terakhir ini, menjadi sangat ramai dimata public Indonesia, kaitannya dengan statement yang dikeluarkan oleh Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Prof. Dr. Eddy O.S Hiariej, S.H.,M.Hum mengenai Vaksin Corona Virus Disease (Covid-19). Dalam pernyataannya Wamen mengatakan bahwa jika ada masyarakat yang menolak untuk divaksin maka dapat dikenakan sanksi Pidana, Hal ini lalu kemudian memunculakan banyak sekali Polemik pro dan kontra.

Menjadi ketegasan kita bersama bahwa, jangan lupa selain kedudukannya sebagai Wamenkumham, Beliau Prof. Eddy adalah salah satu ahli hukum Universitas Gadjah Mada dengan specialis hukum pidana (Strafrecht) sehingga menjadi tidak ragu ketika Beliau mengeluarkan statement, tentu itu memiliki landasan yuridis normative yang sangat jelas dan bisa dipertanggungjawabkan, siapapun ahli hukum baik itu akademisi maupun praktisi yang berhadapan dengan Beliau dalam satu argumentasi hukum, tentu akan sangat was-was.

Secara normative sanksi pidana sebagaimana dimaksud Wamenkumham merujuk pada ketentuan norma pasal Pasal 93 UU Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Karantina Kesehatan yang menyatakan "Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan karantina sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi  penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sehingga menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000.00, (Seratus juta rupiah)".  Perlu diketahui bahwa dalam pasal 93 tersebut secara teoretik adalah "Blanket Norm" atau Norma yang kabur sehingga perlu ada suatu kejelasan denggan menggunakan kajian teori dan asas untuk mmperjelas norma yang kabur tersebut. Disisi lain, harus dipahami bahwa UU Karantina Kesehatan adalah hukum administrasi yang diberi label pidan atau sanksi pidana.

Ciri dan karakteristik hukum pidana Administrasi ialah perpegang pada "Unavia Beginsel" sehingga seringkali terdapat "Blanket Norm" atau norma yang kabur dan sedikitnya menyimpang dari Lex Scripta (Hukum Pidana Harus Tertulis), Lex Certa (Rumusan delik pidana harus jelas) dan Lex Stricta (Hukum Pidana tidak dapat berlaku surut). Dengan demikian maka argumentasi yang dibangun Wamen adalah untuk memperjelas norma yang kabur, dan sekaligus menghindari yang namanya kekosongan hukum (Recht Vacuum).  Selanjutnya kaitannya dengan konteks ini, didalam "Blanket Norm" atau norma yang kabur, jangankan tidak menerima vaksin, tidak menggunakan masker saja sudah bisa Dipidana akan tetapi pidana yang dimaksud disini adalah bersifat "Ultimum Remidium" artinya pidana dapat digunakan jika pranata hukum lain tidak lagi berfungsi, sehingga konteks pidana dimaksud digunakan sebagai pedang terakhir.

Jika memang sanksi pidana itu dapat lansung diterapkan, maka kita bisa melihat secara kasat mata maraknya pelanggaran yang dilakukan oleh warga terhadap protocol kesehatan, akan tetapi pertanyaannya apakah lansung dipidana.? Kan jelas tidak, apabila hal itu lansung dipidana maka kesimpulannya kita akan pinjam penjara dari negeri kincir angin Belanda untuk menampung orang-orang kita, dikarenakan kapasitas penjara akan terpenuhi dan tidak bisa menampung. Merujuk pada paragraph sebelumnya tentu tidak dapat dibenarkan pemahan yang menyatakan bahwa Wamen Keliru dalam statement itu. Artinya dikaji dari segi teoritik Argumentasi Wamen sangatlah memiliki kualitas dan tidak bisa terbantahkan. Akan tetapi merupakan sebuah kewajaran sebagai orang yang berlatarbelakang Pendidikan tinggi hukum, tentu akan selalu memiliki pendapat terhadap yang berbedah terhadap suatu isu yang berkembang, karena hal itu bersifat subjektif. Satu hal yang perlu penulis tegaskan dalam tulisan ini bahwasanya, Konsep positivisme hukum di Indonesia tidak diterapkan secara Piur, oleh karena itu sangat dibutuhkan teori dan asas untuk menjawab problematika-problematika hukum yang ada di Indonesia saat ini. Dan bagi penulis sendiri itulah yang kemudian dilakukan oleh Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Prof. Dr. Eddy O.S Hiariej, S.H.,M.Hum.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun