Suatu senja aku berujar datar. Benar, tak terdengar kasar. Akan tetapi, gelegar supranaturalnya memorakporandakan hati para pendekar.
Begini,
Ini di lapangan RT, kampungku. Saat bapak-bapak memperbarui cat tembok lapangan.
"Hei, cat tembok itu masih basah. Jangan mendekat!" kataku kepada sekawanan pendekar bangsa. Â Iya, itu sebutan beken di kampungku, untuk bocah-bocah kampung berusia belasan tahun.
Bocah-bocah itu mengiyakan imbauanku. Satu demi satu meninggalkan lapangan. Aku merasa menang! Perintahku dilakukan!Â
Eh, ternyata hanya dalam hitungan angan, laskar pendekar kampungku itu kembali lagi. Â Rupanya mereka ditikam rasa penasaran.Â
"Emang kenapa tembok itu, hi hi hi."
Satu bocah mendekati tembok. Dua bocah menyusul. Kawanan bocah itu tampak semakin penasaran.
Satu anak tak kuat dengan kepenasaran hatinya. Ia mulai mendulit tembok itu dengan  ujung jari telunjuk, "Iya, basah!" celetuknya.
Bocah yang lain ikut-ikutan dan beberapa saat kemudian mereka benar-benar ikut!