Setiap kali pergi ke kota, aku harus melewati Griyatop - sebuah perumahan elite - penghubung tempat tinggalku dengan jalan raya. Sekalipun perumahan elite, di sana ada sepotong jalan yang rusak. Aspalnya pada mengelupas, tanahnya menganga berlobangjugang, masih ditambah  berpolisitidur, dan berpostur menanjak.
Ah, tapi bukan itu yang ingin ku grenengkan!
Setiap kali bersepeda motor melewai jalan itu, Pailul, teman harianku justru memacu motornya lebih cepat dari yang semestinya terbayang di benakku.Â
Benar-benar beda denganku! Kalau aku, begitu melewati jalan berlobang yang mengakibatkan motor bergoyang pemicu hati bimbang itu, motor kupelankan nyaris tak berlari. Sedikit mendayu menyesuaikan lekuktekuk tanjakan jalanan. He..he..he kalau sampeyan-ampeyan bagaimana, hayo?
Demi menghiasi senja yang menabur warna jingga, kemarin, aku pun melemparkan pertanyaan kepadanya. Ya, kepada Pailul, teman harianku itu!
Mengapa saat melewati jalanan rusak tanah melesak justru motor dipacu semakin kuat? Sudah barang tentu, aku tahu ukuran kecepatan bagiku dan bagi Pailul, teman harianku itu berbeda dengan pemotor kebanyakan sekarang.Â
"O, alaaa gitu saja ya ingin tahu ta Kang, sampeyan?" tanya Pailul sajak sesuatu banget.
Dalam hati aku merasa dilecehkan!Â
Namun hanya sejenak. Aku segera insaf. Bukankah puasa kemarin aku sudah lulus tentang ketulusan menerima siapa saja apa adanya, he..he..he..he! Tentu kelulusan itu ingin kupertahankan tetap hidup dan bahkan kutumbuhkembangkan jadi gaya budaya keseharianku! Karakter? Ah, kedhuwuren -- dikira tiru-tiru Bapak Menteri! Hust!
"Begini, lo Kang!" si tubuh kerempeng, pipi methul, yakni Pilul, teman harianku memulai memberikan penjelasan.
"Gaya berjalan di perjalanan itu pilihan, Kang!"