Makan bergizi gratis (MBG) merupakan program unggulan pemerintahan Prabowo-Gibran yang kini digencarkan di segala penjuru negeri dengan pro-kontra akibat keracunan massal pelajar.
Pro-kontra MBG tidak hanya soal keracunan namun juga soal menunya. Misalnya, menu burger, spageti dan susu kemasan.
Publik bertanya, mengapa MBG tidak menggunakan saja menu-menu lokal? Bukankah pangan-pangan lokal juga kaya akan gizi?
Salah satu pangan lokal yang kaya nutrisi adalah daun kelor. Masyarakat Indonesia di berbagai daerah selama ini memanfaatkan daun kelor sebagai sayuran, olahan camilan, minuman dan ramuan herbal.Â
Pohon kelor juga ditemukan tumbuh di pekarangan atau kebun milik warga. Daun kelor juga merupakan salah satu sayuran yang dijual di pasar-pasar tradisional.
Dikutip dari laman Kompas.com, daun kelor mengandung protein, vitamin B6, vitamin C, zar besi, vitamin A, dan magnesium. Daun kelor segar sebesar 100 gram saja memiliki kadar gizi yang jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan beberapa jenis buah dan sayuran. Daun kelor pun disebut sebagai super food karena kandungan nutrisinya.
Kadar gizi dalam kelor 2 kali kandungan vitamin A pada wortel, 4 kali kandungan potasium pada pisang, dan 9 kali kandungan zat besi pada bayam. Kadar kelor bahkan 14 kali kandungan kalsium pada susu.
Beberapa tahun lalu di Propinsi Nusa Tenggara Timur, gubernur menggerakan masyarakat untuk menanam kelor di pekarangan rumah atau kebun. Anak stunting di Nusa Tenggara Timur cukup banyak sehingga pemerintah memanfaatkan kelor untuk mencukupkan gizi dan menurunkan angka stunting.
Jika setiap keluarga memiliki tanaman kelor, daunnya dapat dimanfaatkan untuk sayuran. Nutrisi anak pun dapat tercukupi sehingga tidak kurang gizi dan tidak mengalami stunting.
Di sejumlah daerah, daun kelor juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi anak-anak.Â