Mohon tunggu...
Imansyah Rukka
Imansyah Rukka Mohon Tunggu... Jurnalis - Kemuliaan Hidup bukan hanya sekedar rutinitas namun bagaimana bisa mermanfaat bagi umat manusia dan alam semesta
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Ketua Persatuan Pewarta Warga Indonesia - PPWI Sulawesi Selatan -- Jurnalis Koran Sergap, (sergapreborn.id), Jendela Indo News (Jendelaindo.com).

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Surga Buat Petani (Bag 1 dari 2 tulisan)

30 Mei 2010   07:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:52 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Seperti biasanya setiap pagi hari lelaki tua renta itu sebelum beranjak menuju ladang sawahnya, ia duduk sejenak di bale-bale bambu depan halaman rumahnya. Berdiam diri dan berdoa. Setelah itu ia menatap alam semesta dengan matanya yang lepas memandang. Terpancar senyuman yang penuh kesejukan tatkala matanya memandang di sekelilingnya. Wajahnya yang terpancar cahaya penuh dengan kedamaian itu seketika disambut oleh kicauan burung-burung yang bermain dipepohonan halaman rumahnya. Sebut saja namanya Semar. Karena nama itu sangat akrab di desanya yang terpencil di kaki gunung. Pak Semar adalah seorang petani organik yang telah memasuki usia senja. Waktunya lebih banyak dihabiskannya selain mengolah sawah untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Juga lebih banyak memberikan hidupnya dalam melestarikan alam yang ada disekitanya. Menjadi suatu rutinitas dalam menghabiskan sisa hidupnya untuk memberikan sesuatu yang positif kepada orang lain. Ketika ada petani lain di desanya datang untuk belajar mengenai pertanian organik kepadanya. Tanpa pikir panjang langsung ia lakukan dengan penuh ketulusan dan keikhlasan. Hingga suatu ketika, dalam perjalanannya menuju ke ladang sawahnya. Ia berjumpa dengan seorang anak muda yang ingin belajar dengannya mengenai bagaimana bercocok tanam padi organik. Dan juga ingin berdiksusi dengan pak semar mengenai potret pertanian di negeri ini. Kebetulan anak muda ini adalah seorang sarjana pertanian yang baru lulus. Ia pun langsung mengajak anak muda itu menuju sawahnya yang tidak jauh dari rumahnya. Lalu anak muda itu bertanya kepada Pak Semar.. Pak Semar”,…..mengapa alam semesta ini sudah memperlihatkan tanda-tanda yang kurang bagus kepada manusia…?", tanya anak muda itu..” Hmmmmmm…begini nak’, mungkin manusia sekarang ini telah jauh dari etika dan estetika alam. Jauh dari apa yang ada dalam dirinya sendiri. Contohnya, dalam bidang pertanian”, begitu banyak orang-orang yang memanfaatkan dunia pertanian sebagai bisnis yang sangat menguntungkan tanpa pernah memperhatikan lagi kaidah-kaidah alam. Kata pak semar dengan suaranya yang serak dan lembut. Apapun yang bisa di jadikan dengan uang, itulah yang mereka lakukan, padahal kepintaran-kepintaran itu seharusnya di amalkan dengan bijak demi kelangsungan hidup manusia dan alam semesta ini. keberpihakan pemerintah haruslah dituangkan dalam bentuk nyata", bukan wacana dan retorika belaka", imbuh pak semar. Ini tugas kamu sebagai anak bangsa, anak yang punya agama dan keyakinan kepada Tuhan", lakukan semua itu dengan dimulai dari dirimu sendiri. Apalagi kamu seorang yang baru saja menyelesaikan pendidikanmu sebagai Sarjana Pertanian...!", tukas pak semar. Oh iya…pak”, seperti itulah yang saya kaji..hanya saja saya ingin berbagi dengan bapak karena bagaimanapun bapak lebih tahu benyak tentang hal ini…, Kata anak muda itu”. Lha, Kamu ini bisa aja, anak muda…”, bapak ini orang yang tidak ada apa-apanya, tidak bakalan diperhitungkan. Karena semua manusia saat ini selalu melihat orang dengan standar luarnya. Tanpa pernah melihat apa yang dirasakan orang tersebut”. Manusia saat ini kebanyakan telah kehilangan jati dirinya. Tapi biarlah semua itu menjadi cerita. Toh nantinya alam sendiri yang membahasakannya dengan benar. Kata Pak Semar”. Maksud Bapak apa..?” , saya tidak paham. Kata Anak Muda itu”. Begini nak, sekali lagi kita bahas mengenai system pertanian di negeri kita. dahulu kala petani menanam padi tanpa pernah disusahkan dengan segala macam pupuk, pestisida yang semuanya asupan dari luar. Hasil yang di dapatkannya adalah sangat bagus dan membuat manusia yang mengkonsumsinya juga sehat. Karena padi yang dihasilkan tidak terkontaminasi dengan bahan kimia yang ada dalam sarana produksi pertanian itu. Belum lagi, dampak dari asupan-asupan kimia tersebut, lahan tanah dan air menjadi jenuh. Binatang, hewan, serta organism yang ada menjadi mati, sehingga terjadilah kehilangan keseimbangan ekosistem”. Kata pak semar sambil melinting tembakaunya. Saya jadi mulai paham sekarang Pak semar, berarti saat ini telah terjadi gangguan keseimbangan alam ya? Khusunya di dunia pertanian dalam arti yang luas. Akibat oleh orang-orang yang serakah, ego, dan tidak mempunyai kesadaran tertinggi dengan akal yang telah diberikan oleh Tuhan, untuk menggunakannya sesuai dengan kapasitas manusia. Sesuai dengan kaidah-kaidah alam. Sehingga ramah akan lingkungan. Kata anak muda itu. Nah, benar sekali nak…” apa yang kamu ungkapkan itu adalah sebuah benang merah”. Pesan saya kepadamu nak, hargailah alam ini”…. “mulailah dengan dirimu sendiri”. Lalu kemudian akan kamu lihat dan rasakan setelah itu…, apa yang akan kamu saksikan setelah itu nak. Sekarang pulang-lah…”, kata pak semar. Anak itu berdiri dari lalu menghampiri pak semar dan memberi salam dengan mencium tangan pak semar. Pak Semar melanjutkan lagi kerjanya. Ia langsung mengambil cangkulnya dan turun mengolah sawahnya. Panas terik membakar wajahnya tidak pernah menjadikannya untuk gentar untuk bekerja menolah sawahnya. Bekerja baginya harus penuh pengabdian hanya kepada Tuhan. Sesekali ia istirahat, untuk menarik nafasnya yang sudah terengah-engah. Lalu dilanjutkannya mencangkul tanah yang sudah lama kering kerontang tanpa air sama sekali. Memang hujan lama tidak turun di desanya. Pak semar, sudah melihat tanda-tanda alam semua itu. Tanah, air dan udara semuanya telah menjadi bagian dari dirinya. Sawah pak semar yang luasnya hanya berkisar 0.5 ha terbagi 4 petak itu adalah merupakan nikmat yang baginya selalu ia syukuri. Anehnya, hasil dari gabah yang kan menjadi beras selalu diatas dari yang apa yang ditanami oleh petani-petani lain di desanya. Memang pola dan sistem penanaman pak semar sangat berbeda dengan petani lain. Pak semar lebih banyak bertani dengan keseimbangan alam dan sesuai dengan rasa. Juga tak lepas dengan afirmasinya kepada Tuhan semesta alam. Tak lama pak semar melanjutkan kerjanya dengan mencangkul tanahnya. Ia sesekali berhenti lalu jongkok melihat dan mengamati tanah yang dicangkulnya itu. Dirabahnya tekstur dan struktur tanahnya yang kering dan padat. Ia tidak melihat, ada kehidupan di dalam tanah yang di amatinya seperti cacing dan mikroorganisme yang biasa ia dapati ketika mengamati tanah yang akan di jamahnya. Ia berpikir bahwa tanah itu telah terdagradasi oleh perlakuan-perlakuan manusia yang tidak pernah memperhatikan kaidah-kaidah alam. Menggunakan pupuk kimia, perstisida kimia, racun tikus, dan sebagainya yang mengganggu ekosistem di sekitarnya. Dengan melihat hal tersebut, pak semar kemudian berdoa dalam hati, seraya berdoa : Ya Tuhanku”, engkau pemilik seluruh alam semesta ini”, berilah kami keberkahanmu”. Ampunilah dosa-dosa kami.” Dosa-dosa para pengambil kebijakan dinegeri ini yang tidak pernah memperhatikan kalam-kalam-mu. Dosa-dosa saudara kami yang tidak pernah memperhatikan hukum-hukum alam-mu”. “ Apa yang kami rasakan adalah akibat dari hukum-hukum itu”. Hanya kepadamu Ya Tuhanku aku berserah diri berilah kami berkah, rahmat dan keselamatanmu”. Pak semar kembali menuju rumah kecil tempat istirahatnya. Kemudian ia duduk tafakkur, dan menatapi alam semesta. Ia mengambil lintingan rokoknya lalu dibakarnya. Setiap tarikan isap rokoknya kemudian dihembuskannya di nikmatinya dengan penuh rasa syukur. Tak lama kemudian, langit-langit awan yang tadinya panas terik membakar. Seketika berubah menjadi mendung gelap sebagai pertanda akan turun hujan. Teruslah ia mengisap rokonya, sambil menikmati seangkir kopi yang sudah dingin. Terdengar gemuruh langit sesaat. Selang berapa saat gemuruh itu hilang. Hujan gerimis pun. Suara detak hujan terdengar diatas atap rumah tempat berteduh pak semar. Yang terletak pinggiran di hamparan sawah. Hujan semakin turun dengan deras. Membasahi semua lahan persawahan yang ada. Terlihat para petani di kejuahan begitu bergembira menyambut datangnya hujan yang telah lama mereka tunggu. Pak semar, seketika mengucapkan, “Puji dan syukur akan nikmatmu Ya Tuhanku”. Rahmat dan karuniamu tak henti-hentinya Kau berikan kepada kami”. Tuntunlah kami selalu berjalan di jalanmu. Jalan yang engkau ridhoi. Amin…!”. Tak terasa hujan pun redah, langit-langit kembali cerah. Burung-burung camar kembali melakukan aksinya diatas pematang sawah dengan terbang melayang kesana kemari. Alam sore itu begitu indahnya. Terlihat bekas hujan masih membasahi rerumputan yang ada. Tak lama pak semar, kembali pulang menuju rumahnya. Dalam perjalanan pulang. Ia melihat dari jauh ada sejumlah orang ramai-ramai berlarian ke sawah. Dengan rasa penasaraan, pak semar segera mendekati orang-orang yang berkumpul itu. Lalu ia bertanya kepada salah satu penduduk desa. Maaf ..!”, ini ada apa..? kata pak semar”. Pak desa yang ada disitu menjawab”, oh ya ini pak semar, masyarakat mengejar ular sawah untuk membunuhnya”. Kata pak desa. Begini saja, dimana sekarang ular sawah itu? Tanya pak semar. Itu sementara diangkat untuk disembelih”, kan lumayan pak semar. Kulitnya sangat mahal untuk di jual”. Lagian ular ini yang suka memangsa ayam saya yang sudah hilang sekian ekor. Kata penduduk desa. Iya pak semar, anak kambing saya juga pernah dimakannya”. Kata penduduk desa lainnya. Maaf beribu maaf saudaraku semuanya yang ada disini, sudah sering kali saya dengar orang-orang di desa ini membunuh ular sawah, tanpa ada sama sekali kesadaran untuk merenung. Kata pak semar. Kalian tahu bahwa, ular itu juga ingin hidup sama seperti kita. perlu keseimbangan. Ketika kita membunuhnya tanpa sadar, maka lihat saja tikus-tikus berkeliaran merajalela merusak semua padi para patani termasuk yang ada di lumbung dan dirumah-rumah penduduk”. Kan kalian juga biasa mengeluh, bahwa tikus merusak tanaman padi saya”. Nah, janganlah pula merusak tatanan mereka kalau kita tidak mau di ganggu”. Tuhan menciptakan semua yang ada di alam semesta ini ada kedudukannya masing-masing, maka jalani semua kedudukan itu sesuai kapasitasnya. Paling tidak kita pahami”. Kata pak semar. Sekarang dimana ular sawah itu..? Tanya pak semar lagi. Disana pak”, di penangkar belakang rumah saya. Mari kita kesana melihat ular itu”. Pak semar menuju ke tempat perangkap ular sawah itu. Terlihat ular sawah itu sepertinya telah luka akibat pukulan kayu dari para penduduk. Untung saja belum kalian bunuh, kata pak semar dengan lembut. Sekarang, iznkan saya untuk melepas ular tersebut dan membawanya kembali ke hutan yang tak jauh dari desanya. Pak semar lalu membuka kandang perangkap ular itu, lalu pelan-pelan dia mengangkatnya dengan penuh perasaan. Dibantu dengan beberapa orang-orang. Melewati pematang dan sungai-sungai yang airnya begitu jernih, tibalah pak semar di sekitar kawasan hutan yang teduh dan belum pernah terjamah. Pak semar dan yang lainnya, pelan-pelan melepaskan ular sawah yang tergolong besar itu. Diletakkanya kembali dengan penuh persaaan. Lalu kemudian, ular tesebut bergerak cepat kembali masuk ke dalam hutan. Rupanya ular itu mengerti dan paham bahwa ia dilepaskan oleh manusia kembali ke habitatnya untuk melangsungkan hidupnya sesuai dengan fungsinya. Bersambung ke bagian ke 2 ..

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun