In recent years, Indonesia sedang dihadapkan pada issue tentang Bonus Demografi. Para pakar cenderung mengkaji dampak yg akan terjadi pada kondisi ekonomi Indonesia di masa depan.Â
Keunggulah jumlah usia produktif diharapkan membawa Indonesia pada kemajuan seperti halnya yg telah dialami negara2 Asia Timur seperti Jepang, China dan Korea Selatan.
Apakah keberhasilan yg di capai oleh negara2 Asia Timur dapat dirasakan oleh Indonesia dimana usia produktif tidak meningkat secara kuantitas tapi kualitas kemudian mampu membawa akibat positif pada kemajuan dan kemandirian bangsa. Jika kuantitas saja yg meningkat tanpa dibarengi dengan kualitas maka yg terjadi malah akan menjadi beban negara dan masyarakatlah yg menderita.
Dalam hitungan bulan, bonus demografi ini akan dialami oleh Indonesia pada rentang waktu 2020 hingga 2030. Fase ini oleh para ahli disebut Window of Opportunity (WO), merupakan jendela kesempatan yg dialami oleh beberapa negara dalam satu dekade.Â
Ini adalah Golden of Opportunity jika saya pinjam istilah lain, dengan tegas kita tidak boleh menganggap peluang emas ini sebagai peristiwa naiknya jumlah kependudukan secara alamiah yg disebabkan menurunnya angka kematian saat melahirkan, lalu meningkatnya usia kerja 15 sampai 64 tahun dan tingginya angka kematian usia non produktif di atas 64 tahun.
Bayangkan, ketika usia kerja begitu banyak namun tidak ada ketersedian  lapangan kerja untuk menyerap mereka atau lapangan kerja tersedia tapi SDM tidak produktif. Tentunya, angka pengangguranlah yang akan melonjak dan malah berbanding terbalik dengan apa yg telah dialami oleh negara2 Asia Timur.
Sejauh ini, kita sebagai masyarakat sudahkah merasakan upaya perubahan yang dilakukan pemerintah sebagai persiapan dalam menghadapi jendela kesempatan (WO) terutama diaspek peningkatan SDM seperti istitusi pendidikan baik formal maupun non formal. Kenapa pemerintah, ya karena mereka lah yg memegang kendali nahkoda bangsa ini, dimana rakyat hanya berada pada posisi penumpang, penerima kebijakan yg harus membayar ongkos/pajak/biaya pendidikan/dll.
Menengok statement Ibu yang terhormat, menteri keuangan Indonesia, Sri Mulyani. Ia mengsumsikan bahwa guru2 hanya menghabiskan 20% APBN tanpa ada keberhasilan kinerja dalam meningkatkan kualitas anak didik.
Setuju sekali, tenaga pendidik harus maksimal utk memberikan kinerja terbaiknya. Mereka, guru2 harus mengembangkan kemampuan mengajar agar lebih kreatif dan inovatif. Mereka harus tahu dan mampu bagaimana mencetak generasi yg intelek, produktif dan memiliki attitude serta skill yg luar biasa. Agar ketika lulus, bukan para alumni yg mencari kerja, tapi lapangan kerja yg memanggilnya bahkan mereka lah yg membuat lapangan kerja.
Guru, ujung tombak dalam mempersiapkan dan membangun usia kerja berkualitas supaya siap menyambut Window of Opportunity. Sekolah, betul2 harus cerdik dalam menerjemahkan dan membumikan setiap program2 pendidikan.Â
Sehingga kemudian lulusan s1 saja tidak cukup, harus ditempa lagi dengan berbagai bentuk2 pelatihan agar semangat mengajar terus tertanam dengan kualitas dan skill yg ikut berkembang sesuai jaman.