Mohon tunggu...
Imam Prasetyo
Imam Prasetyo Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Saya Muslim

Selanjutnya

Tutup

Politik

Rame-rame Tentang Jokowi "Ngecap" di Bioskop

18 September 2018   14:59 Diperbarui: 18 September 2018   15:22 1016
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Loh.. terus namanya apa dong? Kan sebelum film puter, tayangannya  duluan tuh nongol. Durasinya berapa ya lupaa....Lalu apa namanya itu.  Susah bilang itu bukan iklan. Yaa.. kalau pihak penguasa tidak ngaku  curi start misalnya, itu hak dia ngomong gitu. Tapi rakyat kan gak bisa  diboongin- kata aku sih itu iklan- juga bisa kategori curi star kampanye Pilpres", ujar Mey Maysaroh, seorang penonton film ditemui di Jakarta, Sabtu (15/9/2018).

Sumber di sini.

*****

Disebuah acara televisi semalam, timses dari Jokowi, Irma Suryani dari Nasdem dan Faldo Maldini dari PAN sungguh menunjukkan karakter "peperangan" ide dan upaya menaikkan elektoral dari masing-masing pasangan. Meskipun kasat mata Irma selaku senior menunjukkan cara berdebat yang menggunakan ad hominem tapi Faldo yang di sebut "seumuran" anaknya Irma masih bertahan dengan santai menghadapi cecaran emosional politisi senior tersebut.

Salah satu topik yang diperdebatkan semalam, apakah tayangan Jokowi menyatakan telah dibangunnya sejumlah bendungan sesaat sebelum film dimulai itu termasuk kampanye atau tidak. Tapi melihat respon masyarakat yang telah membelanjakan duit mereka untuk sekedar refreshing di bioskop menanggapi kilahan para timses yang menolak tayangan tersebut sebagai kampanye telah menunjukkan betapa rakyat tahu persis wujud kebenaran itu sendiri.

Penulis tidak ingin menambahi polemik kampanye atau tidaknya tayangan Jokowi disela-sela gambar sejumlah irigasi tersebut. Bukan sebuah topik yang serius dan memberikan manfaat bagi publik, toh publik juga sudah terbelah menjadi dua kelompok tentang tafsiran dari tayangan tersebut. Polemik yang nature-nya bakal membelah menjadi dua pendapat besar. Sungguh nggak ada manfaatnya terjebak di polemik kampungan tersebut.

Lebih bermanfaat bagi nalar publik adalah, mengapa petahana yang memiliki logistik melimpah seperti semua komponen pemerintahan yang bisa di set-up menjadi mesin pemenangan, jumlah parpol yang bergerombol secara massif, ASN yang ditengarai bakalan di permak menjadi relawan gratisan dan yang paling penting jabatan presiden yang masih di sandang Jokowi berikut beberapa pollster yang gemar merilis ke publik tentang elektabilitas Jokowi yang moncer masih gelagapan dan meracau berjualan tentang keberhasilannya membangun Indonesia?

Sibuknya petahana "berjualan" keberhasilan setidaknya malahan menepis kebenaran hasil rilisan dari pollster tersebut. Angka-angka yang mentereng bahkan ada yang di atas 50% menjadi basi dan tidak lagi mengenyangkan. Mana mungkin angka elektabilitas yang sensasional tersebut masih saja kurang dan merasa perlu menyelipkan unsur-unsur marketing yang di bungkus dengan kalimat "sesuai undang-undang" terkait rilisan dari Kominfo tersebut dan menayangkannya sesaat film akan diputar dibioskop.

Sudahlah, rakyat tidak seperti seonggok kayu lapuk yang jika di siram air tumbuh jamur. Rakyat adalah sekumpulan nalar utuh yang bisa melihat dengan obyektif sejauh mana semboyan "kerja, kerja, kerja" tersebut di dalam realisasi operasional. Menggunakan cara Faldo Maldini menyentil tayangan tersebut dengan angka importasi sejumlah bahan makanan pokok --bahkan hingga-- sampai dua digit ton produk dari sejumlah negara dengan tayangan sejumlah irigasi yang ternyata tidak memberikan manfaat yang berdampak langsung kepada publik. Adanya ketidaksinkronan antara pembangunan infrastruktur yang memakan APBN dengan janji-janji swasembada. Jargon kedaulatan pangan yang sering disampaikan oleh Jokowi ternyata rontok di tengah kegemaran menteri dari Nasdem, partai yang Irma Suryani bercokol didalamnya membuat kebijakan yang membuat petani meradang.

Apalagi kasak-kusuk yang menyebutkan ada adanya politisasi importasi tersebut dengan upaya mengumpulkan logistik untuk persiapan pilpres 2019 nanti.

"Pihak yang memperoleh  kuota impor pangan tentu  mendapat untung besar. Jadi, kemungkinan ada  pihak-pihak yang sedang mencari dana," ujar Pengamat ekonomi Rizal Ramli  dia dalam pernyataan  tertulis seperti dikutip dari Kontan, Minggu (6/5/2018). Setidaknya, masih ada juga nalar lurus yang terselip dari sekian anomali kebijakan yang dibuat oleh rezim ini. Seperti Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso yang tegas mengatakan menolak kebijakan yang tidak pro dengan petani tersebut dan menegaskan, gudang-gudang beras Bulog  sudah penuh dengan beras. Ia mengklaim stok yang dimiliki Bulog hingga  posisi awal Agustus sebesar 2,7 juta ton. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun