Mohon tunggu...
Imam Prasetyo
Imam Prasetyo Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penyuka Berudu atau Kecebong, makhluk hidup yang sedang menuju transformasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Masih Valid-kah Polri Sebagai Aparat Penegak Hukum?

3 Oktober 2017   16:48 Diperbarui: 3 Oktober 2017   16:55 1197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebuah film besutan Holywood dengan aktor Will Smith dan komedian slapstick Martin Lawrence tentang peran protagonis tapi kemasannya antagonis. Membangkang atasan, menabrak aturan dan bermulut jamban. Klop! Kedua aktor ini memerankan sosok polisi yang jauh dari kepatutan, setidaknya itu yang ingin digambarkan di dalam film tersebut. Padahal konten yang ingin disampaikan adalah, tidak peduli dengan cara (how to) yang penting hasil (managemen by objective). Alhasil, jika di cerna, kedua polisi sotoy tersebut meskipun cashing-nya bajingan tapi kinerja mereka yahud. Gembong narkoba dan pelaku money laundering bisa mereka sikat habis.

*****

Nah, artikel ini hanya ingin menyinggung sedikit saja kinerja kepolisian Republik Indonesia di jaman Jenderal Tito Karnavian, seorang the rising star karena melompati dua bintang di pundak dalam waktu cepat, bahkan beberapa seniornya yang sebelumnya bintang tiga pun dia salib. Apalagi ditambah kasak-kusuk dan kisruh Budi Gunawan dengan beberapa penggiat anti korupsi. Tito berhasil nemplok di Trunojoyo dalam masa singkat.

Hebat, meskipun kemudian jika di runut sepertinya pria kelahiran Sumatera Selatan ini pada akhirnya terlihat lebih politis ketimbang jenderal pengayom dan pelindung masyarakat. Gerakan aparat Bhayangkara lebih kental nuansa politik pragmatis daripada penegakan hukum. 

Begitu banyak kasus-kasus yang bersliweran dan memakan energi publik -meskipun pada akhirnya di proses penegakan hukumnya tapi meninggalkan ampas-ampas amuk sosial. Semisal kasus Ahok yang kuat sekali impresi Tito bermain-main dengan emosi masyarakat yang merasa adanya perlakuan yang over protective kepada si mulut jamban itu. Jangan marah, sebutan ini setali dengan jatuhnya palu hakim atas tindakan kriminalnya tersebut.

Beberapa kejadian terakhir, dengan merujuk kepada Surat Edaran Kapolri tentang ujaran kebencian dengan bermodal UU ITE, kepolisian yang menangkapi mereka yang dituding menyebarkan dan bermain-main dengan konten provokatif lebih kental aroma pemberangusan freedom of speech. Karena jika hate speech yang ingin dikampanyekan maka para pengujar kebencian untuk mereka yang tidak berseberangan interes politiknya atau sebut saja deh afiliasi politiknya  sejalan dengan rejim yang berkuasa semestinya Polri bisa berlaku sama.

adolfprabowo-59d341f87fd6e720ac1317f2.jpg
adolfprabowo-59d341f87fd6e720ac1317f2.jpg
Sederhana saja, misalkan Ulin Yusron yang membuat tampilan Prabowo bak Adol Hitler atau beberapa penggiat medsos yang afiliasi dan interes politiknya se-motif dengan rejim yang berkuasa. Di medsos di kenal dengan sebutan kaum Bani Serbet atau kelompok baju kotak-kotak yang kerap dijadikan bualan bahwa mereka ini kelompok yang the untouchable alias kebal hukum. Beberapa akun yang bisa di blocked, downed atau suspendeddengan status terakhirnya berikut bukti-bukti digital perhari ini masih mejeng dan bisa di lihat rame-rame. Apesnya saja Polri seperti masih mengejar para pengujar yang menuding Jokowi dan Iriana Jokowi dengan tampilan yang memang tidak patut untuk dilakukan.

Jadi ingat saat SBY dioprek-oprek profilnya seperti kebo. Muka SBY yang kereng dan tegang itu tapi ternyata lebih kuat daya tahannya terhadap provokasi-provokasi para nyinyir. Entah kepolisian saat itu belum berpolitik dan semata-mata profesional atau mungkin SBY tidak umbar janji-janji kepada mereka saat itu kelak bisa diorbitkan lebih tinggi lagi.

Entah mending mana antara Bad Cop di mata rejim tapi Good Cop dalam pandangan publik ketimbang Good Cop dalam  kamus Istana tapi B*j*ngan Cop di mata masyarakat. Bersikap pragmatis tidak sepenuhnya keliru, namun berlaku idealis atau setidaknya normatif saja pun semestinya menjadi nilai inti saat menjalankan profesi. Apalagi jika profesi tersebut adalah aparat pengayom dan pelindung masyarakat dan bukan pengayom atau pelindung penguasa. Sudah berkuasa koq, mosok masih di lindungi juga?

Aparat yang sigap dan ekspresif mempertontonkan kesibukannya menangkapi para pelaku yang katanya tidak terafiliasi dengan kelompok penguasa semakin membuat publik patut bertanya. Sebenarnya kalian itu yang menggaji siapa sih? Bukannya dari para pembayar pajak yang kian mencekik leher itu?

Untuk mencari pengunggah konten dengan screenshoot whatsapp antara Habieb Rizieq dengan Firza saja kok belum juga bisa tuntas tapi bisa segera menangkap dan membuat profil kelompok -katanya para pembuat konten hate speech seperti Saracen? Lalu para pelaku penyebar meme-meme "lucu" lainnya yang diduga dilakukan oleh -di duga oleh Jasmev yang akun tuyulnya jumlah lebih banyak ketimbang Saracen sepertinya susah banget.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun