Ketika bisnis menawarkan kemudahan pembayaran, ketika beberapa jasa pembayaran telah berlomba-lomba menggunakan gawai sebagai device-nya dengan menggunakan NFC (near field communication) eh kubu petahana malahan semakin getol menawarkan sejumlah kartu, bahkan konon yang belum ditawarkan kartu masuk surga. Alhasil sebuah iklan yang menggelitik seperti menipiskan dompet malahan akan membengkak menjadi media penyimpanan sejumlah kartu.
Untung saja Sandiaga tidak terjebak ikut dalam kegoblogan dengan menawarkan 10 kartu bagi penduduk seperti kartu penduduk, kartu pintar, kartu sembako murah, kartu tol langit, kartu pengangguran dan seperti yang penulis sebutkan tadi, kartu masuk surga. Pengusaha yang memiliki kekayaan trilyunan rupiah ini malahan antitesis dengan kubu petahana. Sandiaga menyorongkan E-KTP yang memiliki chip canggih ini sebagai satu kartu dengan multi fungsi. TInggal membenamkan sejumlah data-data yang bisa mengambil alih sejumput kartu yang pernah Jokowi pamerkan tahun 2014 lalu dan sejumlah kartu yang dipamerkan Ma'ruf Amin perlihatkan saat sesi debat kemaren.
Penggunaan gawai seperti smartphone mungkin masih belum memungkinkan karena keterbatasan ketersedian peralatan yang sama dibanyak sektor semisal di kantor pos, koperasi atau pasar tradisional. Hanya bank-bank kelas atas saja yang sudah menyediakannya. E-Money atau E-Toll yang menggunakan kartu pembayaran atau e-Wallet dan sejenisnya seperti Danaku, Eazy Pay dan Go Pay telah memamerkan kehandahalan dari gawai yang menambahkan fungsinya sebagai alat bayar.
Dan Sandi telah menunjukkan kita bagaimana berfikir praktis. Membayangkan ada puluhan juta calon pemegang kartu ini-itu yang berjumlah lebih daripada satu akan menimbulkan ekses biaya penerbitan atau pembuatan kartu. Apakah hal ini belum terfikirkan oleh petahana atau mungkin saja ada terbentuk mitra kerjasama jasa pembuatan kartu tersebut? Entahlah. Ide Sandi untuk menggunakan E-KTP sebagai satu-satunya kartu yang akan difungsikan lebih dari sekedar kartu kependudukan membuat publik menjadi berfikir bahwa pasangan calon No. 02 ini memang pasangan yang memiliki platform efisiensi dan efektifitas. Biaya selalu identik dengan manfaat. Tidak seperti LRT dan Transjawa yang berbiaya super trilyunan ternyata menurut para pendukung petahana sendiri akan membutuhkan waktu puluhan tahun untuk menggeser paradigma publik dan memetik manfaatnya.
E-KTP yang telah memakan 'korban' sekian banyak para pemangku kepentingan di Republik ini memang sayang untuk hanya sekedar menjadi kartu yang memuat biodata para pemegang kartu. Mengapa tidak terfikir oleh petahana untuk meng-extend fungsi dari segala kecanggihan dari mikro chip yang terbenam didalamnya. Penulis lebih mempertimbangkan kemungkinan adanya transaksi  yang menimbulkan efek bisnis dari segenap para pemangku kepentingan. Sebagaimana sekian kasus yang menyeruak disela-sela kistruh E-KTP hingga hari ini, pengadaan sekian kartu yang ditawarkan petahana memiliki potensi yang kurang lebih sama, hanya belum terekspos ke publik saja.
Nah, para calon pemilih, dari hasil beberapa kali debat semakin kita melihat perbedaan apa yang ditawarkan oleh para calon pemimpin bangsa. Miris rasanya disela-sela bisingnya publik mempertanyakan produktifitas utang pemerintahan yang ribuan trilyun tersebut ditingkahi oleh tawaran yang sangat tidak efisien dan efektif. Maklum rasanya jika publik menuding ribuan trilyunan tersebut buah dari kebijakan yang tidak meletakkan efisiensi dan efektifitas sebagai spirit pembangunan.
Salam Ujung E-KTP!