Salah satu faktor penentu peningkatan kemiskinan adalah naiknya harga BBM. Memang, naiknya BBM bisa menyelamatkan defisit anggaran pemerintah, tetapi efek bergandanya tinggi jika tidak segera diatasi dengan intervensi berbagai macam program. Energi merupakan input utama industri, beban biaya transportasi, logistik, termasuk beban pengeluaran rumah tangga. Ibaratnya, BBM merupakan oli bagi stimulus pertumbuhan ekonomi karena efek gandanya yang luar biasa.
Apalagi beberapa waktu yang lalu BPS mengumumkan hasil survei per Maret 2015 yang menyebutkan jumlah orang miskin di Indonesia meningkat sebesar 860.000 dibandingkan periode September 2014. Kalau dilihat dalam rentang waktu 6 bulan itu, maka kebijakan dominan yang paling berdampak tentu kenaikan harga BBM tersebut.
Yang menariknya, harga BBM ditentukan berdasarkan harga ekonominya. Bukankah harga minyak terus turun, kenapa harga BBM tidak ikut turun? Apakah BUMN menjual harga minyak ke rakyatnya sendiri dengan keuntungan sebesar-besarnya?
Sekarang jika dihitung harga ekonomi US$ 47/barrel, maka itu sekitar 47 x Rp 14.500 (hari ini masih Rp 14.400) = Rp 681.500/barrel atau Rp 681.500/159 liter = Rp 4.286/liter. Kalaupun diasumsikan biaya transportasi, pengolahan dan sebagainya 30% dari harga pokok tadi, maka harga BBM di Indonesia seharusnya Rp 5.572. Mengapa harga premium masih Rp 7.300? Padahal di Singapura, BBM dengan RON 90 harganya hanya Rp 6.300. Bandingkan GDP/kapita Singapura yang US$ 46,000, nyaris 10 x lipat GDP/kapita Indonesia, tetapi dengan harga BBM yang jauh lebih murah. Ya karena harga ekonominya emang segitu.
Jadi, ada apa dengan Pertamina & ESDM? Mana transparansi perhitungannya? Aku ngeri aja, kalau rakyat sendiri yang 250 juta orang menjadi sasaran pemasaran BBM yang harganya jauh banget dibandingkan dengan harga internasional? Inikah yang menyebabkan ekonomi Indonesia mundur kebelakang?
Konsumsi BBM di Indonesia bersifat massif, sekitar 1,5 juta barrel/hari atau sekitar 238.500.000 liter/hari. Bahkan jika Pertamina mengambil marjin bersih hanya Rp 100/liter, maka keuntungan 'hariannya' bisa mencapai Rp 23,85 Milyar/hari. Semakin besar skala konsumsi, seharusnya tentu semakin efisien. Lah, ini selisih hingga Rp 1700-an? Ngeri gak lo.
Kondisi harga minyak dunia yang jatuh seharusnya menjadi 'boost' ekonomi bagi Indonesia, walaupun kurs rupiah melemah. Ini seperti kejadian di AS, begitu harga minyak nyungsep, ekonomi AS langsung melaju dengan cepat, karena ketergantungan impor minyak AS tinggi sekali, jutaan barrel/hari. Harga minyak murah sejak Agustus 2014, membuat industri menggeliat di AS, penyerapan tenaga kerja melambung tinggi. Jadi, bagi negara net importir minyak, jatuhnya harga minyak dunia seharusnya menjadi berkah. Beda dengan eksportir minyak seperti Venezuela, Rusia atau Iran, yang sekarang APBNnya defisit luarbiasa karena pendapatannya sebagian besar dari ekspor minyak. Tetapi mengapa Indonesia yang net importir malah gak bisa melaju ekonominya? Bingung gak lo.
Yang jelas, harga BBM memiliki keterkaitan dengan angka kemiskinan, kegairahan dunia usaha dan daya beli konsumen. Bermain dengan harga yang 'tidak wajar' tentu akan berdampak kepada ekonomi negeri ini sendiri.
Ya sudah, gitu aja. Salam Kompasiana!
Â
Â
Â