Agama merupakan salah satu aspek kehidupan manusia yang paling sakral, menyentuh sisi terdalam dari moralitas, etika, dan spiritualitas. Namun dalam beberapa dekade terakhir, muncul fenomena yang mengkhawatirkan di kalangan masyarakat Muslim, yaitu penyalahgunaan simbol-simbol keagamaan untuk kepentingan pribadi dan keuntungan ekonomi. Fenomena ini sering disebut sebagai bentuk “jual agama”, di mana ajaran atau atribut Islam dijadikan alat untuk mencari legitimasi, popularitas, bahkan kekayaan materi.
Dalam masyarakat Muslim kontemporer, simbol keagamaan seperti busana syar’i, gelar ustaz, jargon-jargon Islami, serta aktivitas keagamaan seperti kajian, ceramah, dan zikir akbar sering kali dikemas dalam bentuk yang sangat menarik, namun disertai dengan kepentingan bisnis yang terselubung. Praktik ini dikenal sebagai komodifikasi agama, yakni ketika nilai-nilai spiritual dijadikan komoditas untuk dikonsumsi masyarakat. Sosiolog agama melihat hal ini sebagai bentuk “kapitalisme religius” — di mana agama tidak lagi hanya sebagai jalan ibadah, tetapi juga sebagai sarana meraup keuntungan (Berger, 1999).
Banyak tokoh yang mengklaim sebagai ulama atau dai namun pada kenyataannya tidak memiliki kompetensi keilmuan yang sahih. Mereka memanfaatkan penampilan religius untuk mendapatkan kepercayaan publik, lalu menjual produk, membangun brand pribadi, hingga membuka jasa “spiritual healing” berbayar dengan harga tinggi. Tak jarang juga terjadi penyimpangan, seperti pengumpulan donasi umat atas nama dakwah yang tidak transparan penggunaannya, hingga bisnis umrah ilegal yang merugikan jamaah. Dalam perspektif akademik, ini merupakan bentuk penyalahgunaan otoritas simbolik dalam agama yang berpotensi merusak kepercayaan umat.
Menurut Dr. Syaiful Anwar, M.Ag., dosen Studi Islam di UIN Jakarta, penyalahgunaan agama untuk keuntungan pribadi merupakan bentuk manipulasi nilai ilahiah demi kepentingan duniawi. “Islam tidak pernah melarang perdagangan atau usaha, tetapi menjadikan agama sebagai alat manipulatif itu berbahaya dan menyimpang secara etika maupun teologi,” ujarnya dalam diskusi ilmiah bertajuk "Agama, Ekonomi, dan Moralitas" yang diselenggarakan pada Kamis, 29 Mei 2025.
Dalam Islam, QS. Al-Baqarah ayat 41 mengingatkan:
“Dan berimanlah kalian kepada apa (Al-Qur`an) yang telah Aku turunkan, yang membenarkan apa (Taurat) yang ada pada kalian, dan janganlah kalian menjadi orang yang pertama kafir kepadanya. Janganlah kalian jual ayat-ayat-Ku dengan harga yang murah, dan bertakwalah hanya kepada-Ku.”
Ayat ini menegaskan larangan keras terhadap praktik memperjualbelikan ajaran suci demi keuntungan sesaat.
Fenomena “jual agama” tidak hanya menimbulkan kerugian finansial, tetapi juga kerusakan moral dan kepercayaan sosial. Masyarakat yang kecewa dengan tokoh agama yang menyimpang dapat kehilangan kepercayaan pada institusi keagamaan itu sendiri. Bahkan, generasi muda bisa menjadi skeptis terhadap nilai-nilai Islam yang sebenarnya luhur, karena melihat banyak contoh buruk dari figur publik yang memanipulasi agama.
Fenomena penyalahgunaan agama untuk keuntungan pribadi adalah cerminan paradoks dalam masyarakat Muslim modern. Di satu sisi, ada kebutuhan untuk menegakkan nilai religius dalam kehidupan sosial. Namun di sisi lain, tanpa kontrol etik dan pendidikan agama yang memadai, simbol-simbol suci justru bisa disalahgunakan sebagai instrumen bisnis yang merugikan umat. Masyarakat perlu lebih kritis dan cerdas dalam menyikapi tokoh atau produk yang mengatasnamakan agama. Akademisi dan lembaga keagamaan juga harus memperkuat peran edukatifnya dalam membangun kesadaran bahwa agama bukan alat komersial, melainkan pedoman kehidupan yang harus dijaga kesuciannya.
Sumber:
Hasil Diskusi Ilmiah “Agama, Ekonomi, dan Moralitas”, UIN Jakarta, 29 Mei 2025