Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Melupakan akun lama yang bermasalah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pantura, Rob, Pilu, dan Denyut Kehidupan yang Melambat

15 Mei 2024   15:50 Diperbarui: 15 Mei 2024   16:11 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potret pantai utara Jawa Tengah di Kendal. (kompas.com/slamet priyatin)

Aku ingin cerita padamu tentang pilu karena air laut itu. Air laut yang merangsek ke daratan di wilayah Pantura Jawa. Asin tak ketulungan dan memilukan. Memilukan dunia perekenomian. Itu potret yang aku tangkap di Kendal, Jawa Tengah.

Sebelum aku cerita padamu tentang rob, aku ingin mengatakan bahwa belasan tahun hidupku aku habiskan di area Pantai Utara Jawa Tengah, di Kendal. Sekalipun tak intens, tapi bau nelayan dan cerita-ceritanya aku mengetahui. Kerasnya hidup di daerah Pantura yang panas menyengat itu, aku ketahui. Bahkan kuketahui dengan mata kepalaku sendiri.

Bagi yang pernah hidup di Pantura Jawa dekade 80-an sampai pertengahan 90-an, kerasnya hidup di sana pasti tahu. Tak perlu aku ceritakan di sini.

Dulu, semasa SMA, aku beberapa kali mengayuh sepeda, mungkin sampai 10 kilometer untuk sampai ke bibir pantai utara. Bersama anak pamanku, kami menyiapkan jaring.

Lalu kami berjalan dari bibir pantai ke arah utara. Mungkin sampai 500 meter atau bahkan 1 Km. Aku tak terlalu ingat. Tapi seingatku, kami berhenti ketika tinggi air laut sudah sampai dekat leher.

Seingatku tak ada rasa takut yang menggelayut kala itu. Tak pernah terpikir jika tiba tiba ada ikan besar melahap pahaku. Mungkin karena anak remaja memang tak punya rasa takut. Sementara anak pamanku yang lebih tua dariku beberapa kali merapal doa meminta keselamatan dengan caranya sendiri.


Di situ, di area yang dalam itu, kami menebar jaring yang diberi pemberat di bawah dan pelampung di atas. Setelah jaring kami tebar, kami jalan lagi ke bibir pantai.

Setengah jam kami menunggu. Lalu kami kembali ke lautan. Menarik jaring dan mengambil ikan yang tersangkut di jaring itu. Setelahnya, kami kembali menepi. Jika beruntung, maka akan banyak ikan yang kami dapatkan.

Sementara, sebagian saudaraku mencari ikan dengan perahu. Lebih lama di laut. Dan pertaruhan nyawa lebih dahsyat.

Kadang aku membayangkan, lebih ngeri mana tersesat di hutan dan tersesat di lautan? Sebegitu keras memang hidup di laut.

Laut memang memberi banyak orang penghidupan. Sekalipun pelan-pelan sampah mulai bergelimpangan meracuni lautan. Lalu, pelan-pelan air laut mulai meninggi karena efek perubahan iklim. Ketika air meninggi, tanah makin ambles.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun