Satu kesempatan belasan tahun lalu, seorang teman nyeletuk murung. Sebab, THR yang dia dapatkan akan banyak tergerus jika pulang kampung. Ya karena harus memberi amplop pada banyak sanak saudaranya yang masih anak kecil.
Aku tak terlalu paham apakah ungkapan itu benar-benar dalam hati atau hanya ungkapan sepintas lalu saja. Sepintas lalu saja maksudnya adalah rasa murung sesaat. Nanti kalau sudah pulang kampung, memberi amplop, ya ikut bahagia juga.
Sebab, melihat anak kecil bahagia diberi uang, kadang kita ikut bahagia. Beberapa tahun kemudian, ternyata murungnya teman saya dialami oleh yang lain. Saat Lebaran makin dekat, muncul meme atau sejenisnya di media sosial.
Intinya begini, siapa sih yang memulai bagi bagi amplop di masa Lebaran. Sehingga kita kita 'dipaksa' untuk memberi amplop juga. Intinya adalah beratnya hati mengeluarkan uang banyak pada anak anak di masa Lebaran.
Mereka yang keberatan memberi amplop di masa Lebaran tentu punya alasan sendiri. Itu hak mereka. Aku yakin mereka bisa mempertanggungjawabkan sikapnya itu.
Tapi, kalau aku punya pandangan begini. Jika memang tak mau memberi amplop, ya tak perlu pulang kampung saat Lebaran. Karena kalau pulang kampung saat Lebaran memang identik mengeluarkan amplop.
Jadi tak perlu murung dan tak mengeluarkan uang, jika tak mudik Lebaran. Kedua mencoba melihat dalam perspektif berbeda. Memberi itu selalu menyenangkan. Memberi di hari indah itu membahagiakan.
Lagipula, tidak setiap hari kita memberi uang pada anak-anak di kampung. Jadi tetap saja beri uang saudara kecilmu agar bahagia. Toh dulu aku juga sangat senang diberi uang saat Lebaran.
Kalau duit habis gimana? Nah untuk itulah saya dulu menabung jauh jauh hari sebelum Lebaran. Sebagian hasil tabungan itu untuk berbagi di masa Lebaran.
Saya merasa, salah satu kebahagiaan hidup adalah ketika bisa membahagiakan orang lain.